Akhirnya masanya datang juga, dimana pertanyaan-pertanyaan tentang kapan menikah mulai menghantui — well, for me personally, its been like the second year after I hit thirty.
“Umur segini, nunggu apalagi sih?”
“Jadi kapan kau nikah?”
“Itu adek-adekmu udah punya pacar — mana pacarmu?”
Dan masih banyak lagi pertanyaan terselubung yang arahnya menjurus kesana.
Misalnya seperti semalam; ada ritual baru yang biasanya dilakukan, dalam keadaan pandemi seperti ini, yakni mengadakan zoom conference call. Walaupun tidak tentu waktunya, kadang sekali seminggu, atau bahkan lebih. Ya, tujuannya entah hanya sekedar bertanya kabar, berkelakar bersama, yang penting tau keadaan satu sama lain di tengah keadaan terbatas seperti ini. Kebetulan, kedua adik saya mengajak teman dekat mereka untuk ikut bergabung di dalam conference call tersebut, menyisakan saya sebagai objek atas serangan pertanyaan-pertanyaan di atas.
Apakah merasa tersiksa karena pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas? Tentu tidak. Justru, sebagai abang yang paling tua turut senang ketika mengetahui mereka sudah punya teman dekat. Malah, saya berpesan kepada mereka, “tidak usah menunggu, jika kalian sudah siap untuk melangkah ke jenjang berikutnya, silahkan.”
Menikah bukan kompetisi, tidak peduli siapa yang duluan dan siapa yang belakangan.
Menikah juga bukan perkara dikejar-kejar umur. “Umurmu sudah berapa? Cepat-cepatlah menikah.” Apalagi desakan keluarga, teman-teman ketika sedang reunian di kondangan teman, atau tekanan sosial semata.
Dan paling penting, menikah bukan hanya sekedar perkara “Akhirnya, halal!” Bagi saya, kok ya cetek banget menikah hanya untuk melegalkan berhubungan badan. Apalagi biasanya selalu diikuti dengan tambahan argumen, “Ya, daripada sex bebas?” — hadeh.
Menikah jauh lebih dari itu. Dia sakral.
Dia berbicara mengenai menyatukan dua karakter. Hal-hal yang berkaitan dengan ego. Pemahaman akan sifat satu dengan yang lain. Bahkan mungkin lebih dari itu, dia juga menggabungkan dua keluarga. Perbedaan kultur dan latar belakang. Bagaimana dua menjadi satu — atau mungkin tetap menjadi dua, tapi tetap saling berdampingan.
Dia juga berbicara mengenai komitmen. Hal-hal yang berkaitan dengan upaya dan kesetiaan. Bagaimana dua tetap menjadi satu, tanpa orang ketiga.
Dan juga berbicara mengenai kesiapan. Mulai dari mental hingga keuangan— ini yang paling berat. Keduanya harus saling menopang. Pernikahan bukan cerita dongeng putri-putrian. Dia realistis.
Lantas, kapan menikahnya kalo menunggu semua hal di atas?
Tidak ada yang tahu kapan waktu yang pas untuk jawaban pertanyaan tersebut. Setiap orang punya waktu yang berbeda-beda. Tidak perlu memaksakan waktu antara orang yang satu dengan yang lain.
Mungkin saja mereka yang sering memaksamu untuk cepat-cepat menikah, sebenarnya sengaja ingin menyuruhmu merasakan apa yang mereka rasakan, betapa rumitnya kehidupan pernikahan tersebut. Agar supaya berbagi keresahan yang sama. Mungkin saja loh.
Ah, tapi tau apa kamu soal menikah, kamu saja belum menikah?
Iya, betul. Justru karena merasa belum memiliki kualifikasi tersebut di atas sehingga belum berani untuk mengambil langkah jauh, sampai menikah. Ada mimpi dan kesempatan yang masih ingin dicapai, kesiapan mental dan finansial yang belum terpenuhi, dan masih banyak lagi hal yang masih nyangkut di kepala.
Dan jika kamu membaca tulisan ini — sama sekali, tidak ada niat untuk menakuti-nakuti keputusanmu untuk menikah. Apalagi untuk mengesampingkan kekuatan semesta terkait hal ini.
Yang pasti, selama kamu punya kebebasan untuk dirimu sendiri dalam menentukan pilihan mengenai hal ini, karena mungkin banyak orang di luar sana yang tidak punya banyak pilihan soal hal ini,
— pikirkanlah dengan jernih; pada akhirnya, menikahlah karena siap, bukan karena silap.
*postingan ini diposting juga di medium.com/@drivojansen