Sunday, March 13

Hujan dan Kopi

Sunday, March 13
Aku mulai melangkahkan kaki dengan cepat. Langit gelap seolah mengejar dari belakang. Mendung datang lagi. Setelah beberapa hari ini aku tidak membawa payung karena cuaca yang cenderung panas. Tapi ternyata tidak kali ini. Memang benarlah adanya sekarang bahwa selain jodoh, rejeki dan maut, cuaca pun hanya Tuhan yang tahu.
Dan benar saja, hujan turun dengan cepatnya.

Tanganku tetiba membuka pintu masuk sebuah coffee shop sementara kakiku ikut melangkah masuk ke dalamnya

Lumayanlah untuk berteduh hingga hujan berhenti, pikirku.

Seorang wanita langsung datang menghampiri dan memberikan buku berisi sajian menu.

Tanpa berpikir panjang, aku memesan segelas coffee latte. kombinasi sepertiga espresso dan dua pertiga susu. Sehingga rasa susunya lebih terasa. Cocok untuk menemani di saat hujan, pikirku.

Aku mengarahkan pandangan mata keluar lewat jendela. Melihat orang-orang yang lari beradu cepat dengan rintik hujan. Juga orang-orang yang berteduh agar tidak terkena hujan.

Tetiba pikiran ini melintas di pikiranku. Ada apa dengan hujan? Apa yang sudah diperbuatnya? Kenapa orang-orang seperti menghindar darinya?

Aku justru sebaliknya. Seandainya aku membawa baju ganti saat ini, aku pasti akan keluar dan bermain bersama hujan. Berdansa di bawah rintiknya. Tapi apa boleh buat? Hanya baju yang menempel di kulitku ini yang ada padaku.

Lamunanku terganggu seketika oleh Coffee Latte yang sudah datang.

“Terimakasih,” sahutku melempar senyum kepada wanita yang mengantarkan kopiku. Dia membalas senyum.

Kuangkat gelasku dan tetiba aku menemukan secarik tissue yang berisi tulisan di bawahnya. ‘HAI, GEMINI’.

Aku tersentak kaget dan mulai melihat sekeliling coffee shop. Siapa yang mengirimi secarik tissue. Dan yang lebih membuat kaget lagi darimana dia tahu zodiak-ku?
Mungkinkah sebuah kebetulan? Tak mungkin, pikirku.

Aku kembali memanggil wanita pelayan yang melayaniku tadi. “Ini dari siapa, mbak?” tanyaku sambil mengerutkan dahi.

Wanita itu kembali tersenyum sambil menunjuk ke arah pria yang sedang meracik kopi di ujung sebelah sana.
Aku menggelengkan kepala. Ada-ada saja, pikirku.

Hujan belum juga reda. Kuteguk coffee latte-ku sambil melihat keluar. Beberapa orang sudah berani mengambil langkah untuk menantang hujan. Membuatku semakin berpikir, kenapa tidak daritadi mereka mengambil langkah? Bukankah pada akhirnya pasti akan terciprat juga?

“Maaf, Permisi!” tanya seorang pria. “Boleh duduk disini?”. Pria peramu kopi yang yang di ujung sebelah sana tadi sekarang tepat dihadapanku. Aku kembali mengerutkan dahi.

“Silahkan!” jawabku.

“Maaf, untuk tulisan di tissue yang tadi,” sahutnya sambil sedikit tersenyum.

“Ah, sudahlah! Tidak usah dipedulikan.” jawabku.

“Tapi benarkan, kau Gemini?”.

“Ah, itu hanya tebakanmu saja!”

“Tapi aku bisa menebak zodiak-mu dari kopi kesukaanmu,”.

Aku mengerutkan dahi. Tiba-tiba tawaku lepas. “Mana mungkin? Lagipula apa hubungannya antara zodiak dan kopi?”.

Sekarang gentian dia yang balas tertawa. “Tapi setidaknya tebakanku tentang zodiak-mu, benar kan?”.

“Baiklah!” aku mengangguk.

“Si Gemini yang memiliki daya pikat luar biasa bagi orang lain, selalu membutuhkan teman dan pendapat dari orang lain. Si Gemini yang tidak bisa diam pasti membutuhkan kopi yang bersifat menenangkan. Dan pilihannya jatuh kepada Coffee Latte.”
Aku diam mendengarkan penjelasan pria ini. Memang ada benarnya juga sih, pikirku.

“Aku bisa menebak zodiak dua wanita yang sedang mengobrol di sebelah sana hanya dari kopi yang mereka minum. Berani menantang?” tanyanya.

“Silahkan,” jawabku.

“Kalau tebakanku benar, nomor teleponmu harus tercatat di telepon genggamku. Setuju?” pertanyaan yang membuat nyaliku sedikit ciut.

Tapi entah kenapa kepalaku ini cepat sekali mengangguk setuju.

Lalu pria itu bergerak dari kursi dan mulai bertanya kepada dua wanita yang sedang duduk mengobrol tak jauh dari mejaku. Mereka agak sedikit berbincang. Si pria memperhatikan gelas kopi di hadapan mereka. Lalu pria itu kembali ke mejaku.

“Wanita berambut panjang dan memakai gaun merah itu meminum Espresso. Tebakanku dia pasti ber-zodiak Aries. Sementara wanita yang satu-nya lagi itu meminum Caramel Macchiato dan zodiac-nya pastilah Leo.” dia mulai menjelaskan.
Aku memperhatikan dengan seksama. Kulihat dua wanita yang tadi baru saja ditunjuknya.

“Sekarang giliranmu. Coba kau tanya pada mereka apa zodiac mereka!” perintahnya sambil kembali tersenyum.

“Baiklah,” sahutku sambil berjalan ke arah dua wanita tadi.
Aku kembali sambil senyum sendiri.

“Dari mana kau tahu semua itu?” tanyaku tiba-tiba. “TAK MUNGKIN! Ini pasti rekayasa.”
Aku setengah tak percaya. Ada jeda dimana kami diam berdua. Semesta membuatku bengong sejenak hingga akhirnya kami pun tertawa. Aku masih tak percaya. Jawaban kedua wanita tadi sama dengan tebakan si pria peramu kopi itu.

“Si Aries biasanya memiliki sifat ’sedikit’ keras kepala dan selalu ingin menjadi yang terdepan. Nah, kopi yang cocok buat mereka adalah Espresso. Aroma Serta rasa yang kuat cocok dengan sifat mereka.”

“Sementara Si Leo, pribadi dengan segudang argumen, memiliki banyak cara untuk mendapatkan keinginannya. Hari-hari si Leo makin ‘hidup’ dengan ditemani secangkir Caramel Macchiato.”

Pria itu kembali menjelaskan dan aku sekali lagi diam terpesona. Benarkah kopi dan zodiak itu benar-benar berhubungan? Atau mungkin pria peramu kopi ini hanya kebetulan benar. Tapi tebakan benar hingga tiga orang apakah masih bisa disebut kebetulan? Pikiran dalam otak kembali berperang.

“Sepertinya hujan sudah reda. Aku harus pulang,” sahutku sambil menatap keluar. Sudah tak tampak lagi rintik air yang jatuh berlomba dari atas langit sana.

“Dan oh iya, ini nomor telepon selulerku! Obrolan serta tantangan yang menyenangkan!
” lanjutku sambil menyodorkan tissue dengan beberapa nomor tertulis di dalamnya.

Aku bangkit berdiri dan keluar dari kursi. Melangkah keluar dari coffee shop.

Sementara itu, masih ada perbincangan di dalam coffee shop.

“Kita BERHASIL! Silahkan kalian mengambil libur hari minggu,” sahut pria si peramu kopi sambil melempar senyum ke arah dua wanita yang tadi diajaknya mengobrol. Dan mereka terlihat tertawa bersama.

Aku memicingkan mata melihat kejadian itu dari jendela luar coffee shop. Kulihat ada bayangan kalung menjuntai dari leherku bertuliskan ‘Gemini’. Dan aku pun tersadar dengan semua tebakan omong kosong ini.

Telepon selulerku mulai bergetar.
DASAR PRIA, pikirku.

Dan semesta selalu punya cara sederhana dalam mempertemukan cinta. Sesederhana cinta itu sendiri.

Jika di ceritaku cinta bertemu melalui hujan dan kopi, bagaimana dengan ceritamu?


1 comment:

sarah said...

Awww, so sweet..

DRIVO JANSEN © 2014