Awalnya hening. Sore itu hanya ada senja kemerahan yang menemani kami. Ketika dua mata saling bertatap, dan bibir tertutup rapat.
'Jadi apa maksud ini semua?' dengan geram ia bertanya. Dan untuk ke-sekian kalinya aku terdiam.
Aku tak mampu menjawab, hanya bisa menunduk.
Lalu dia menguncang-guncang tubuhku. Sambil setengah berteriak,'ceppaaat jawwaaab!'.
Aku mencoba mengerahkan segenap kekuatan. Mencoba mengangkat tegak kepalaku. Menarik nafas. 'Aku mau cerai!'.
Seketika dia melempar beberapa lembar kertas surat di dalam amplop. Dan secepat itu juga sebuah telapak tangan mendarat di pipiku. PLAAK!
Aku masih tertunduk. Mungkin sikap pasrah ini yang membuatnya semakin menjadi-jadi.
'Ini sudah keputusanku. Kau lebih pantas mendapatkan wanita yang lebih baik. Wanita yang lebih bisa memberimu keturunan. Aku sudah ikhlas'. Aku mencoba menjelaskan perlahan.
'Kenapa baru sekarang kau bilang? Kenapa tak kau bilang dari dulu-dulu? Sudah berapa anak yang kupunya kalau begini ceritanya?' maki si pria ketus.
'Maaf'. jawabku. Hanya kata itu yang terlontar dan ada di pikiranku saat ini. Aku berusaha meraih tangannya. Menggenggamnya, mungkin untuk yang terakhir kali.
'Ah, sudahlah. Kapan kita mulai proses ini?' sahutnya sambil menghempaskan lenganku. Badanku ikut terhempas oleh tubuh besarnya.
Dikutipnya kembali amplop berisi surat tadi dari lantai, dan berlalu pergi. Seperti biasa, tanpa pamit.
Sementara aku masih terdiam disini. Duduk sendiri di atas sofa, ditemani langit yang sudah berubah gelap.
Pipi yang berbekas merah serta siksaan raga sekejap reda. Hilang ditelan sakitnya hati. Secepat itu dia men'iya'kan permohonanku? Perceraian ini?
Dan ini antiklimaksnya. Emosi ku pecah. Rasa yang tadi coba kutahan, akhirnya lepas.. Berbentuk butiran air yang keluar perlahan. Turun melewati pipi. Basah.
Hanya itu kekuatan ku saat ini. Berserah pada air mata, membuat ku lega. Dan itu sudah lebih dari kata cukup.
*cerita ini terinspirasi dari video di youtube yang direkomendasikan si Prabu*
No comments:
Post a Comment