Tuesday, February 14

Kampung Naga, Sebuah Tempat Belajar.

Tuesday, February 14
Selain terkenal dengan Cokelat, sampai dijuluki Swiss van Java karena hal ini, tau cokelat dengan tulisan-tulisan unik macam “Cokelat Anti Galau” atau “Cokelat Penolak Jomblo” di bungkusnya kan? Nah itu aslinya dari Garut! 

Tapi gue gak akan nulis soal Cokelat di postingan kali ini. Adalagi hal yang lekat dengan Garut dan jauh lebih menarik. Ya, Kampung Naga.


Kampung Naga, terletak di antara Garut dan Tasikmalaya ini masih memegang teguh nilai adat tradisi, serta tidak tersentuh jaman. 

Disini berdiri 113 rumah penduduk yang jumlahnya tidak akan bertambah atau berkurang dari dulu hingga sekarang. 

Keseluruhan rumah disini mirip, mulai dari model hingga bahan bangunannya yang terbuat dari bambu dan beratapkan jerami. Tapi tenang aja, katanya sih rumah ini gak bakal bocor kalau hujan, malah bisa bertahan sampai 40 tahun sampai atap jeraminya benar-benar lapuk dan dibuat lagi atap yang baru. Dan masing-masing rumah hanya mempunyai satu pintu. 

Banyak sekali hal-hal menarik yang diceritakan oleh Kang Entang, pemandu perjalanan selama di Kampung Naga. Bagaimana desa ini bisa tetap mempertahankan tradisi, menjaga nilai-nilai luhur ditengah-tengah kemajuan jaman.


Di Kampung Naga terdapat Sungai Ciwulan, yang membelah desa tersebut. Kalau sekilas dari gambar diatas, sungai tersebut cukup kering, karena masih terlihat bebatuan dan arus sungai yang cukup tenang. 

Tapi kalo hujan tiba, sungai ini berubah dalam sekejap. Arus sungai yang deras serta volume air yang meluap-luap. Nah kalau sudah begini, maka pinggiran sungai ini akan ramai. Ada yang menghalau sampah yang melintasi sungai, ada yang memancing atau bahkan hanya menonton arus sungai yang deras tersebut.


Di Kampung Naga, rumah penduduk dikelompokkan menjadi satu, dengan balai untuk menumbuk padi di tengah-tengahnya. Berbeda dengan letak dengan rumah tetua dan balai desa dan masjid yang berada di tengah desa. 

Yang menarik, tiap rumah tidak memiliki toilet. Jadi, beberapa toilet (tidak banyak) dibuat tersebar di beberapa titik disekitar pemukiman, sehingga masyarakat bergantian jika ingin menggunakan toilet. Ibarat ngekos, ya semacam kamar mandi di luar gitu. 

Ada hal unik di Kampung Naga ini. Semua spot disini ini boleh difoto, kecuali ada satu bangunan yang katanya tempat menyimpan benda leluhur, yang tidak boleh difoto. Bukan cuma bangunan rumahnya, tapi sekitarnya pun tidak diperbolehkan untuk difoto.



Sementara masyarakatnya sendiri bermata pencaharian sebagai petani. Ada juga ibu-ibu yang membuat kerajinan tangan. Dan gue sih gak yakin anak-anak tadi itu tau-tauan soal iPad atau game online yang lagi happening. Listrik saja tidak ada disini. Tapi, semuanya berjalan selaras dan seimbang di Kampung Naga. 

Nah, sekarang gimana caranya kesini? 

Berhubung gue anaknya angkot banget, jadi pergi kesini naik angkot. dari terminal Kampung Rambutan bisa naik bus yang jurusan ke Garut nanti turun pas di Kampung Naga. Perjalanan sekitar 4 jam dengan biaya tiket sekitar Rp. 60.000 tergantung busnya, ekonomi atau AC. 

Sampai di Desa Kampung Naga, kita harus registrasi dulu di koperasi penduduk setempat, setelah itu diperkenalkan dengan pemandu perjalanan. Desa Kampung Naga ini letaknya dilembah. 

Jadi nanti kita akan turun melewati tangga hingga sampai ke bawah. Nah, kalau ada yang tanya perlu dan bisa nginep gak disini. Jawabannya sih enggak perlu nginep. Kalau kita berangkat pagi, sore juga udah bisa pulang. Tapi kalau kita misalnya mau bikin penelitian atau semacam live-in, kita bisa nginep di rumah-rumah penduduk dan berbaur langsung dengan mereka. Ternyata banyak banget peneliti dari dalam atau luar yang datang kesini untuk mempelajari bagaimana kehidupan di desa ini dan bisa bertahan sampai sekarang.


Karena seperti kata Kang Engtang, yang menjadi pemandu perjalanan kami, bahwa yang akan didapati ketika berkunjung kemari bukanlah tontonan (wisata) melainkan tuntunan. Karena sesungguhnya, kesederhanaan adalah kunci. 

Jadi gimana, udah tau kapan ke Desa Kampung Naga?

No comments:

DRIVO JANSEN © 2014