Saturday, October 2

Bahagia Itu, Pagi Ini

Saturday, October 2
Langit masih gelap kebiruan. Tapi aku sudah bersiap mengais rejeki di tengah kerasnya ibukota yang katanya lebih kejam dari ibu tiri.
Semua ini demi selengkung senyum kebahagian di bibir mungil milik perempuan kecil berumur sepuluh tahun. Satu-satunya harta yang kupunya.
Ku kecup keningnya, menandakan aku pamit kerja.
Langit dengan cepat berubah gelap kembali. Ganti bintang dan bulan yang kerja. Pertanda aku sudah harus menyudahi rutinitas ini.
Rasanya waktu dua puluh empat jam itu kurang. Kalian boleh memanggilku si hamba uang. Tapi teringat lagi, peri mungilku. Masa depannya. Bahagiaku.
Setiba dirumah, kubuka gagang pintu kamarnya. Lampu sudah mati.
Hanya terlihat siluet gadis kecil memeluk guling sedang tertidur lelap.
Aku datang mendekat. Ku kecup keningnya. Kali ini memberitahu bahwa aku sudah dirumah.
Perlahan aku keluar sambil berusaha tidak membuat suara, agar peri kecilku tidak terbangun.
Entah kenapa, kakiku menuntun langkahku ke daerah sekitar dapur. Entah kaki atau perut yang kali ini berperan.
Aku terperanjat. Ada sehelai kertas tertahan magnet tergantung menempel di pintu kulkas bagian atas.
Terlihat tulisan cakar ayam di dalamnya. Tahulah aku siapa penulisnya.
Ayah.
Pasti ayah baru pulang waktu baca surat ini.
Dan aku sudah bermain bersama peri lain di alam mimpi.
Memang ayah tak pernah lelah berlomba dengan matahari?
Pergi mendahului matahari dan pulang sesudahnya.
Padahal aku ingin menyimpan tas kerja ayah di kala ayah membuka pintu.
Menyediakan air minum ketika ayah sedang duduk bersandar di sofa.
Diucapkan ‘selamat tidur’ oleh ayah.
Diusap kepalanya.
Seketika air mata ini tumpah.
Belum selesai kubaca kalimat berikutnya. Tak tahan hati ini.
Ada apa di otakku. Kebahagian macam apa yang sedang ku coba berikan.
Tersadar aku.
Lalu aku melangkahkan kakiku kembali ke kamarnya.
Kurebahkan tubuhku disampingnya. Kupandangi dirinya. Air mata kembali tumpah. Seketika rasa bodoh dan bersalah menyelimuti aku.
Kudekap peri mungil ku erat, hingga akhirnya terlelap.
Aku berusaha menyilangkan tanganku di atas mata. Silau.
Langit tak lagi berwarna gelap kebiruan melainkan cerah. Mentari sudah siap di posisinya.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka, ‘Selamat pagi ayah!’. Sebuah kecupan mendarat di pipiku.
Kuusap kepalanya.
Kupeluk dan kugendong dia.
Kubiarkan matahari cemburu melihat tawa kami.
Kutemukan arti bahagia. Pagi ini.

By drivojansen, on August 25th, 2010


No comments:

DRIVO JANSEN © 2014