Thursday, December 30

Rinduku Sudah Mati

Thursday, December 30
Rinduku sudah mati.

Tertikam pilu. Tersapu hujan.

Saat tangan itu mendekap hangat pundakmu.
Pundak yang sama, tempat hatiku kala rapuh bersandar mencari teduh.

Saat mata yang sama tempatku menatap eloknya surga.
Kini sudah menemukan surganya sendiri

Saat matahari kehilangan cahaya.
Perlahan memudar. Buyar terpencar.

Saat rasa perlahan terkubur oleh ketakutan yang berkuasa.
Saat doa jadi senjata atas jarak.

Saat tiap alfabet atas namamu sudah bertuan.
Menjadi jawaban atas doa bagi si pemiliknya.

Rinduku sudah mati.

Hatiku kembali tak berpenghuni.

Menanti kau-yang-tak-tahu-entah-siapa mengucap jampi.
Agar dia hidup kembali. Entahlah, apa waktu bisa menggenapi!

Tertutup kafan suci. Atas cinta, mimpi dan harapan.
Meninggalkan satu ukiran kisah bertema kepedihan.

Rinduku sudah mati.

Dan aku hanya bisa menitip pesan pada doa.

Agar kalian terberkahi.




Friday, December 24

[Preview] Penyulam Rasa

Friday, December 24
Namanya, Pai Inong.

Hanya menyulam satu-satunya kegiatan yang dari dulu hingga sekarang ia tekuni. Sampai detik ini.

Hanya suara radio yang menemaninya. Satu-satunya harta berharga yang dimilikinya.

Hingga akhirnya suara lagu dari radionya tetiba mati dan berganti dengan musik berlatar belakang berita.

'Pendengar, telah terjadi letusan di Gunung Merapi, Jogjakarta. Diperkirakan lelehan lahar menuruni lereng gunung, ke arah pemukiman penduduk. Abu vulkanik terasa di sekitar udara. Penduduk telah dievakuasi seminggu setelah peringatan 'Awas' Gunung Merapi berubah menjadi 'Siaga'. Demikian info yang kami berikan. Nantikan terus perkembangan mengenai meletusnya Gunung Merapi.'

'Anak ini bernama Hadi. Berumur sekitar delapan tahunan. Dia terpisah dari keluarganya, ketika warga sedang panik-paniknya mengungsi turun ke bawah lereng gunung. Dia tidak tahu dimana ayah, ibu beserta ketiga adiknya berada'.

Sementara si anak yang dimaksud hanya diam tak mampu berkata apa. Air matapun tampak sudah kering, enggan keluar. Tak mampu mewakili kata-kata lagi.

Gantinya Pai Inong yang meneteskan air mata. Entah kenapa, terurai jatuh.

Tiba-tiba tangan Pai Inong meraih bolpoin. Diambilnya kertas dan mulai digoresnya tinta.

Engkau tahu kenapa pada hari pertama kau berada di bumi, ayah dan ibumu menamakan engkau seperti namamu?

Untuk hari ini. Saat ini. Itu alasannya.

Hadi. Laki-laki.

Apakah engkau tahu apakah artinya itu? Agar engkau tegar. Tidak menyerah pada hidup. Dan terus berjuang, sekeras apapun itu. Ciri laki-laki sejati.

Dan saat ini, kau sedang diuji. Begitupun namamu.

Boleh saja kau pikirkan keluargamu yang terpisah. Tapi jangan larut. Bumi tetap berputar. Hidup selalu berjalan.

Pasti ada rencana indah dari Sang Pemilik Semesta dibalik ini semua. Aku yakin itu.

Hadi, jadilah laki-laki sejati. Seperti namamu.

KAU PASTI BISA!

Air mata menetes sembari Pai Inong menulis. Dia tahu persis perasaan Hadi saat itu. Tersesat. Tak ada pegangan.

Pai Inong kembali pilu. Tak sanggup lagi menahan luapan air mata entah untuk yang keberapa kalinya.

Pikirannya kembali melayang. Menyusuri jejak waktu. Menembus jarak masa lalu. Ketika air bervolume besar menyapu bersih gubuk tinggal, meluluh-lantahkan segalanya. Yang juga turut menjemput cucu laki-laki kesayangannya. Ya, 26 Desember beberapa tahun lalu.


-sekian-
Untuk detail ceritanya, AYO BELI BUKUNYA! cerita ini ada di #writers4indonesia: Be Strong, Indonesia! buku #enam!

Friday, November 26

Dialog Aku dan Hujan.

Friday, November 26

Hujan masih turun perlahan. Emosinya belum reda.

Aku masih menatap keluar dari balik jendela. Membenamkan diri dalam lamunan. Menyabotase pikiran sendiri. Dibiarkan kosong. Diisi oleh suara rintik hujan.

Dan sepertinya Hujan tahu aku sedang memperhatikannya. Dia mulai memperlambat langkahnya ke bumi.

Dan aku mulai menyapa, 'Hai!'


Hujan tidak menyapa. Sedikit angkuh dia.

Matanya hanya tertuju ke tanah. Lurus, tak berkelok.


Memicingkan mata padaku pun dia tidak.


Kusenderkan badanku pada bangku di dekat jendela. Kubiarkan daguku menyentuh kaca. Agar lebih dekat dengan Hujan, pikirku.


Aku kembali melempar senyum.
Dia tetap cuek.

Ah, makhluk macam apa hujan ini. Sombong sekali dia. Melirik pun tidak.


Kutatap tanah dalam-dalam. Tak ada apa-apa, kecuali aromanya yang memang menyenangkan. Ya, aroma tanah ketika hujan.


Tapi apa yang membuat mata si Hujan tak sedikitpun lepas dari tanah?


Mataku tertuju kembali menoleh Hujan. Melempar senyum padanya. Mencoba mengalihkan perhatiannya. Sekali lagi.


Tapi tetap saja. Nihil.


Dan tetiba hujan berhenti.


Ah sudahlah ini sia-sia, pikirku.


Ternyata, kristal berwarna itu muncul. Dari merah hingga ke ungu. Membentuk lengkungan senyum bernama pelangi.


Ya, hujan membalas senyumku.

Akhirnya menatap mataku.


Menyenangkan, ketika kedua bola mata kita betemu. Dan pandangan kita saling beradu. Menyisakan lengkung di bibir yang tersipu malu.


Lebih indah dari yang pernah kuduga.

Dan itulah awal mula dialog kami.

Aku dan Hujan.


Tuesday, November 23

Bermain Bersama Matahari: Tentang Semangat

Tuesday, November 23
Kemana matahari pagi ini? Lupakah dia harus membawakan sarapan untukku? Secangkir harapan serta semangkuk semangat hangat?

Tak tampak sejumput senyum cerah yang terbit dari ufuk timur! Kemana dia? Adakah kalian melihatnya bersembunyi dimana?

Di balik jendela dia tak tampak. Di belakang rumah pun juga. Apa mungkin dia masih tertidur lelap? Sebentar, coba ku periksa ranjangnya.

Hasilnya pun nihil. Entah kemana lagi harus mencarinya? Tapi tunggu sebentar. Seperti ada suara dari dalam kosong di sebelah!

Kubuka pintu perlahan. Nyaris tak ada suara. Gelap. 'Lalu suara apa itu tadi?' bisikku dalam hati. Aku berusaha memicingkan mata.

'Harusnya aku yang menunggu! Mana sarapanku?' volume suaraku mulai menaik. 'Tenang, tak perlu bernada keras. Volume lembut pun aku dengar!'.

'Mana mungkin aku bisa membawakan sarapan apa itu tadi kau bilang? SEMANGAT? Kalau kau tak menemukan aku?' jawab matahari tenang.

'Kuncinya ada padamu. Kalau kau cari, kau pasti dapat!' lanjutnya.

'Benar juga!' pikirku dalam hati. Lagipula sampai kapan mengandalkan matahari membuatkan sarapanku?

Aku harus bisa meracik semangkuk semangat hangat untuk diriku sendiri!

Selalu menyenangkan memang berbicara dengan matahari. Walaupun kini mulai jarang! 'Terimakasih' sahutku. 'Hanya terimakasih?' jawabnya.

'Lantas?' tanyaku sambil mengernyitkan mata. 'Ganti kau sekarang yang buatkan sarapan! Ya, untuk aku!' sahutnya setengah memerintah.

'Kau pikir enak terkurung di ruang hatimu yang gelap dan lama tak terurus ini?' lanjutnya. 'SIAAALLL!'. Dan kami tertawa bersama.


Wednesday, November 17

Sandi Ini Nyata. Kamu?

Wednesday, November 17
dimana aksara? aku ingin menelanjangi mereka perlahan,
mencari makna tersembunyi di balik tubuh mereka.

ya, kode kehidupan.


sandi macam apa yang digunakan?
otak lelah berkeringat, tak bertemu jua apa jawabnya.


tak cukup kah hanya menjalankan saja tanpa harus ikut letih memecahkan sandi?
mencari tahu semua kepalsuan hidup ini?


tak cukupkah tanda tanya hanya sekedar simbol belaka?
kenapa harus menjadi nyata?


atau haruskah hidup berakhir seperti tanda titik?

sampai kapan kode kehidupan ini akan terpecahkan?

sampai bumi terbelah jadi dua lalu bintang terbit dari barat ke timur?
atau sampai tulang-tulang ini kembali lagi menjadi debu?


atau setidaknya bisakah aku sedikit membaginya untukmu?
membagi aksara untuk kita pecahkan sandi ini bersama?


ah, seandainya kamu itu nyata.




Tuesday, November 16

Suara Kesesakan

Tuesday, November 16
Ketika banyak tanya muncul di kepala.
Menyeruak mimpi seraya bertanya, 'KENAPA HARUS SAYA?'.


Sejenak menghentikan tumit kaki. Menyandera otak lalu mengurasnya.
Berdesah perlahan, 'DI PIJAK MANA SAYA BERTAHAN?'.


Lelah dengan semua drama ini. Drama kehidupan.

Ketika yang berusaha, dipandang sebelah mata.
Dan si pecundang bertemankan keberuntungan.


Kadang aku bertanya di kolong mana Tuhan bersembunyi?
Tak didengar-Nya kah suara sesak ini?


Tidak kah Dia tahu, aku bosan bermain petak umpet ini?

Aku mendekat dalam doa, Dia menjauh.
Sementara aku menjauh, diberinya cobaan agar mendekat dalam doa!
Apa mau-Nya?


Harus kah aku berbalik arah memuja setan?
Atau menyerahkan diri pada seutas tali?


Tak perlu Kau jawab. Biar bibir yang rapat ini bicara.
Agar otak yang kosong ini menumpahkan isinya.


Berlomba dengan jarum jam mengitung detik.
Ya, dibantu hening yang berbisik.




Monday, November 15

Pria Penyuka Diam

Monday, November 15
dalam diam, ada resah.

dalam diam pula banyak tanya.

pun ada harap dalam diam.

tak usah aku bersuara. biar nalar yang bicara.

diam itu emas. ya, bagi hati yang berkarat.

bibir ku kunci rapat. otak ku buka lebar.

biar oksigen segar berjalan perlahan masuk ke dalam.

ingat jangan besuara.

perhatikan langkah.

nanti bertemu aku di dalam,

si pria penyuka diam.


p a r a d o k s

bibir ini diam. pikiran yang bicara.
tak kah kau dengar, otak yang sedang berkecamuk di dalam?
berperang melawan kepedihan malam.

mata melihat. namun hati yang buta.
bukankah skala warna itu indah?
jangan butakan hati, khianati jiwa.

kuping terangkat. membiarkan hati terjatuh.
bukankah kata-kata mesra itu indah?
hati siapa yang tak jatuh padanya.

mata berbicara. agar lidah mendengar.
tak selamanya bibir bicara.
kadang ungkapan mata lebih kejam.


telinga tertutup. hati terbuka.
terserah mereka bilang saya apa.
tugas saya hanya menjalankan saja.

pikiran bicara. biar hati mendengar.
ketika lebih baik berbicara dengan diri sendiri.
sementara orang lain tak mendengar.


Sunday, November 14

Aku Membelah, Tapi Tidak Terbelah.

Sunday, November 14

Seperti ingin membelah diri.
Menyelesaikan tugas masa lalu serta mencari tahu masa yang akan datang.


Seperti ingin membelah hati.
Yang satu untuk mengobati yang lain.
Alasan lain kenapa saya ingin membelah hati:
Tak perlu takut untuk jatuh. Karena yang satu akan mengingatkan yang lain.


Saya pun ingin membelah pikiran.
Bagai ranting bercabang yang ditiup angin maka terbang. Mengayunkan namamu seorang.


Atau ada yang tau bagaimana cara memperbanyak mata?
Dua rasanya kurang. Terbuai paras berbalut kecantikan. Sayang untuk dilewatkan.


Begitupun dengan telinga. Tak cukup dua.
Masih banyak partitur nada dari surga yang belum dimainkan. Menunggumu bersuara.


Apalagi bibir yang hanya satu? Tebalnya kamus masih menyimpan kata. Belum semua terucap rata. Satu yang sering, yakni kata cinta.

Terus kenapa kaki hanya dua? Sementara jarak berjuta?
Haruskah berpacu pada waktu agar ujung semesta dapat tersentuh?


Membelah tangan. Diperbanyak menjadi empat.
Menyentuh langit dengan cepat, tepat. Dimana mimpi terbentang hebat.


Jutaan sel. Ribuan saraf. Dikalian menjadi dua. Bertemu di nadi.
Berjalan bersama mengelilingi sendi. Menanti hari ini


Tapi tolong jangan paksa aku membelah atau memperbanyak cinta.
Karena kita. --Aku. Kamu. Hanya satu.




Wanita Bermata Surga


Tatapanmu tertangkap retinaku.
Walau tak terlalu jelas, tapi cukup membekas.

Mungkin ini yang dinama surga.
Ya, aku baru saja melihatnya.
Mengurai kagum. Bersimpuh sujud.

Seolah kuda putih bersayap emas turun perlahan dari awan sana.
Mejemput terbang ke nirwana.

Tak ada siapa-siapa disitu.
Hanya aku dan pikiran yang turut melayang.
Menuju Pencipta sembari bertanya.
Apa yang dilukisnya di matamu?

Tak ada coretan amarah.
Lihat! Mana ada kerutan tertempel di pinggir situ?


Begitupun gambaran kesedihan.
Tak terlihat sembab. Air mata tak diproduksi di dalamnya.

Hanya tampak tinta putih kebahagiaan.
Tak bernoda.

Rasa penasaranku timbul.
Apa rahasia mata ini?
Kucoba tangkap lagi tatapan itu

Kutelusuri tiap jengkal tubuhnya.
Mencari tahu rahasia tatapan surga mata itu.

Hingga kutemukan sebuah ruangan bergembok.

Kuketok! Tak ada sahutan, 'Diam, goblok!'.

Kudorong perlahan. Ternyata gembok tak terkunci.
Kulihat sekitar, terang.
Samar terlihat tulisan, 'RUANG HATI'!

Banyak penghuni rupanya di dalam.
Ada ketulusan,
Rasa syukur,
dan pengendalian diri.

Bingung aku. Apa yang sedang mereka lakukan?

Mungkin ini rahasia wanita pemilik mata indah itu.

Penghuni surga. Ya, surga hatiku.


Wednesday, November 3

i'am. you are.

Wednesday, November 3
i'am moody. and you boost me up mostly.

i'am mellow. for you are my drama life.

i'am sad. for you are my tears.

i'am laugh. for you are my happiness.

i'am tragic. and you are my sweet accident.

i'am confused. but you are my final destination.

i'am melody. for you are my song.

i'am fly. for you are my wings.

i'am energetic. you are my ecstasy.

i'am tired. for you are my footsteps.

i'am exhausted. for you are running right in my mind.

i'am rest. for you are my life.

i'am universe. for you conspires me.

i'am book. for you are my chapter.

i'am sky. for you are my limit.

i'am dark. for you are my light.

i'am artery. for you are the blood.

i'am sick. for you are the pain.

i'am negative. for you are my positivity.

i'am stuck. but you are my sweet escape.

i'am stress. because you are my biggest problem.

i'am alpha. you are the omega.



Aku. Kamu. Titik.

Aku. Kamu. Satu cinta. Bernama surga.

Aku. Kamu. Dan kita tertawa. Definisi bahagia.

Aku. Kamu. Menunggu pagi. Berharap tak ada yang pergi.

Aku. Kamu. Menulis cerita. Hingga tua renta.

Aku. Kamu. Mengurai tangis. Berujung manis.

Aku. Kamu. Mengurai benang emas. Menyulam mimpi.

Aku. Kamu. Seucap doa lembut. Bertelut sujud.

Aku. Kamu. Terucap janji. Menggenggam hati.

Aku. Kamu. Berkata mesra. Meredam amarah.

Aku. Kamu. Bersama melangkah. Tak hilang arah.

Aku. Kamu. Terlanjur. Rasa yang sama.

Aku. Kamu. Tak dimakan cemburu. Tak habis waktu.

Aku. Kamu. Merelakan kepergian. Hanya jika kematian.

Aku. Kamu. Cobaan yang menguatkan.

Aku. Kamu. Meretas gundah. Melahirkan rindu.

Aku. Kamu. Akankah jadi satu. Melebur dalam 'kita'.

Aku. Kamu. Sederhana. Cinta.

Aku. Kamu. Akhir sukacita.

Tentang Lara.

Terdiam dalam masa.
Menanti harap sambil terucap doa kala resah.
Menenangkan asa.

Dada membuncah seolah ingin teriak.
Tapi apa daya bibir terjahit rapat.
Terikat oleh benang hitam kehidupan.

Guratan mata tak bisa berdusta.
Retina memerah terurai air mata.
Bukan, ini bukan tentang hati yang patah.
Tapi tentang jiwa yang lara.

Pikiran lalu lalang.
Kadang datang, kadang pergi tanpa permisi.
Menyisakan ruang kosong di otak.
Mencipta lamunan hingga tersentak .

Kaki melangkah gontai.
Ketika langkah ini hilang arah.
Sementara jiwa hilang harap.

Raga ikut membisu tak bergerak.
Bukannya sedang malas, hanya terlalu lelah untuk memelas.
Kepada Dia, Sang Pemilik Welas.

Berharap teriak kepada ombak.
Agar semua ini ikut terhempas.
Ditelan lenyap oleh deburnya.

Tapi apa daya.
Ini pun hidup.
Penuh ombang ambing ombak juga.

Menyisakan lara.
Bertemankan aku.
Seorang.


Sunday, October 31

Aku, Palsu.

Sunday, October 31
matamu tertuju padaku,
padahal mata hatimu tertuju kepadanya.


bibirmu tersenyum ke arahku,
namun hanya namanya yang tiap malam kau sisipkan dalam setangkup doa.


kupingmu mendengar ucapku,
tapi kenapa hanya ketika mendengar namanya saja kau ikut berucap?


tanganmu betul meraihku,
tapi tangamu yang satu lagi tak rela juga melepasnya.


kakimu memang meringankan langkahku,
tapi kenapa tak pernah kau arahkan ia agar melangkah ke arahku?


oh ternyata aku baru paham.

makna kata palsu itu.

aku.



Thursday, October 28

Cinta Tanda Baca

Thursday, October 28
Spasi ini kosong

Tak sanggup dia mendekatkan aku hatiku dan kamu

Dia butuh titik untuk mengakhiri

Bukan sebuah koma untuk digantungi

Sudah tak usah pakai tanda tanya

agar langsung bergegas menuju tanda seru

dan sudah jangan kau bicara tentang akhir

selama halaman terakhir buku bernama kehidupan ini belum terisi

belum habis tergores tinta

masih ada kita,

cinta.




Saturday, October 23

Jika Rintik Hujan Itu, Kamu

Saturday, October 23


Jika rintik air ini adalah caramu ingin bertemu denganku. Kubiarkan hati ini meluap akibat curah hujanmu.

Jika hujan ini adalah cara Tuhan untuk memberi pelangi di setiap akhir awan kelabu, maka boleh lah Dia juga menyirami aku dengan peluh-Nya.

Jika hujan ini adalah cara Tuhan untuk mengingatkan aku tentang kamu. Boleh aku minta pada-Nya agar dimusnahkan saja? Karena cukup menyakitkan.

Jika hujan adalah cara Tuhan menyiksa manusia melalui rindu, boleh kah aku menikmatinya dulu? Selagi bayangmu masih bersemayam dalam kalbu.

Jika hujan adalah kamu. Akan ku keringkan lautan hati ini. Kubiarkan ia penuh meluap keluar oleh rintikmu, sebagai persediaan cintaku

Jika hujan itu kamu. Kubiarkan lautan hati yg kering ini penuh meluap. Kuambil sejumput demi sejumput. Kusisakan sebagai persediaan cintaku.

Jika hujan itu kamu, pantas saja awan itu kelabu. Terbakar cemburu melihatmu beradu lomba lari ke arahku.


Tapi sayangnya hujan itu kamu. Hanya bisa menatapmu dari jauh. Dari balik bingkai jendela hatiku. Berujungkan rindu.

Tuesday, October 12

Oksimoron Teraneh itu Aku

Tuesday, October 12
aku ini oksimoron teraneh.
coba dengar.
jantung ini berdegub tetiba kencang.
coba lihat.
rambut halus di sekitar tengkuk pun seolah beredesis.
coba rasakan.
aliran darah mengalir seperti beradu cepat.
coba pikirkan.
otak seketika ikut merangkai 26 huruf menjadi kata-kata.
semua kericuhan itu mendadak terjadi.
ketika kau tampak dihadapanku..
tetapi kenapa hanya bibir ini yang diam?


Saturday, October 9

Khafilah Pencari Rumah

Saturday, October 9


Dicari! RUMAH.

Berpintukan rasa menghargai.
Sehingga ide apapun bisa masuk kedalamnya.
Tanpa mengenal apa itu dicemooh.

Berjendelakan kesabaran.
Dan tak mengenal amarah.
Tak perlu ada wajah muram yang selalu memandang.

Beratapkan perlindungan.
Sehingga tak perlu mengenal apa itu takut.
Untuk kaki berpijak di bawahnya.

Berpondasikan cinta.
Sehingga tak perlu mengenal muram.
Karena ada tawa di setiap materinya.

Aku khafilah yang sedang mencari tempat singgah.
Jika kalian menemukan tempat itu, beritahu aku.

Tentang Mendung. Tentang Aku.


Mendung itu kelabu yang membayangi hati.
Menyingkap kegalauan di tengah kekacauan. B
ertengger di dahan jiwa yang rapuh.
Menyisakan kicau.

Mendung itu mengundang rintik hujan yang jatuh.
Laksana air mata yang menggantung di pelupuk retina.
Menunggu jatuh, akibat rindu.

Cerah matahari yang tetiba berubah jadi gelap awan.
Entah hati siapa yang sedang tersakiti atau yang menyakiti.
Disitupun tampak mendung.

Pun jiwa yang malas.
Bergerak serasa susah.
Memang bukan salah bunda mengandung.
Atau salah teman-temannya Cinta.
Lihat keluar, mendung!

Langit ikut pudar. Tadi biru sekarang kelabu.
Entah cinta siapa yang dicontohnya.
Terselip mendung, disitu.

Hanya terdengar butir hujan yang semakin mengeras.
Sementara hati terus berkeras, ingin seperti mereka bebas.
Pun ada mendung disitu!

Langit lega mencurahkan isi hatinya.
Lihat hujan itu. Tp kenapa hati tetap mengganjal?
Coba tanya mendung. Mungkin dia tahu rahasianya!

Berharap matahari datang cepat.
Menyudahi kegalauan ini dengan sinarnya.
Karena mendung itu aku. Sekarang ini.


Adakalanya, Diam.



Otak dicipta dari ribuan bahkan jutaan saraf.
Pantas dia tak bisa diam.
Bekerja dan berpikir.
Bahkan ketika raga ini lelap di alam mimpi.


Begitu pun dua bola mata ini.
Pancaran penasaran.
Entah apa yang mampu membuatnya mampu berkedip lebih cepat dari hitungan detik?


Juga telinga yang berdaun dua ini.
Sekencang apapun gendang di dalamnya,
dia mampu menangkap berita sekecil apapun juga.


Pun dua lubang hidung ini.
Penyaring hebat yang pernah ada.
Si kotor mampu dipisahnya dari si bersih.
Otomatis.


Ada juga dua tangan ini.
Terdiri dari sepuluh jari untuk bekerja serta lengan untuk tempatmu bersandar.


Juga dicipta-Nya dua kaki ini.
Untuk menapaki jalan.
Bernama kehidupan.


Jika semua dijadikan dua?
Lantas kenapa bibir kenapa hanya diciptakan satu?
Apa ini yang dinamakan Tuhan tidak adil?


Apakah supaya bibir tidak lebih cepat marah
daripada mata untuk melihat atau telinga untuk mendengar? Mungkin.


Tapi yang pasti Tuhan benar.

Kadang kala menjadi diam itu baik.



Saturday, October 2

Terpenjara. Aku.

Saturday, October 2


Terpenjara itu ketika kata terperangkap dalam dada. Sementara rindu sedang melanda.
Terpenjara itu bagaikan hamparan angan. Di rongga otak, dia tertahan. Ingin berlari melewati bibir. Sungguh getir.
Terpenjara itu ketika kumpulan huruf telah berkumpul. Kalimat menjadi satu. Terperangkap dalam tanda kurung, bernama rindu.
Terpenjara itu tak bisa berbuat apa. Membuat terbalik. Mata tak lagi berkedip ketika hati yang sudah mulai bicara.
Jarak dan waktu memenjarakanku. Imagi akan dirimu menyiksaku. Berharap ada yang mengobatiku. Rindu.
Penjara itu kamu. Menyiksaku dari dalam, anehnya membuat aku tak mau keluar. Membiarkan diri terisolasi jeruji hatimu.
Dan aku mau dipenjara.Mendiami ruang sempit di hatimu. Hanya ada kau, aku dan kita. Melebarkan pemikiran tentang cinta.
Apakah mencintaimu adalah hal kriminal? Sehingga kau masukkan aku ke penjara hatimu? Kau jadikan aku tahanan rindumu?

Dan Terpenjara itu aku. Dalam jeruji bayang mu.

Bahagia Itu, Pagi Ini

Langit masih gelap kebiruan. Tapi aku sudah bersiap mengais rejeki di tengah kerasnya ibukota yang katanya lebih kejam dari ibu tiri.
Semua ini demi selengkung senyum kebahagian di bibir mungil milik perempuan kecil berumur sepuluh tahun. Satu-satunya harta yang kupunya.
Ku kecup keningnya, menandakan aku pamit kerja.
Langit dengan cepat berubah gelap kembali. Ganti bintang dan bulan yang kerja. Pertanda aku sudah harus menyudahi rutinitas ini.
Rasanya waktu dua puluh empat jam itu kurang. Kalian boleh memanggilku si hamba uang. Tapi teringat lagi, peri mungilku. Masa depannya. Bahagiaku.
Setiba dirumah, kubuka gagang pintu kamarnya. Lampu sudah mati.
Hanya terlihat siluet gadis kecil memeluk guling sedang tertidur lelap.
Aku datang mendekat. Ku kecup keningnya. Kali ini memberitahu bahwa aku sudah dirumah.
Perlahan aku keluar sambil berusaha tidak membuat suara, agar peri kecilku tidak terbangun.
Entah kenapa, kakiku menuntun langkahku ke daerah sekitar dapur. Entah kaki atau perut yang kali ini berperan.
Aku terperanjat. Ada sehelai kertas tertahan magnet tergantung menempel di pintu kulkas bagian atas.
Terlihat tulisan cakar ayam di dalamnya. Tahulah aku siapa penulisnya.
Ayah.
Pasti ayah baru pulang waktu baca surat ini.
Dan aku sudah bermain bersama peri lain di alam mimpi.
Memang ayah tak pernah lelah berlomba dengan matahari?
Pergi mendahului matahari dan pulang sesudahnya.
Padahal aku ingin menyimpan tas kerja ayah di kala ayah membuka pintu.
Menyediakan air minum ketika ayah sedang duduk bersandar di sofa.
Diucapkan ‘selamat tidur’ oleh ayah.
Diusap kepalanya.
Seketika air mata ini tumpah.
Belum selesai kubaca kalimat berikutnya. Tak tahan hati ini.
Ada apa di otakku. Kebahagian macam apa yang sedang ku coba berikan.
Tersadar aku.
Lalu aku melangkahkan kakiku kembali ke kamarnya.
Kurebahkan tubuhku disampingnya. Kupandangi dirinya. Air mata kembali tumpah. Seketika rasa bodoh dan bersalah menyelimuti aku.
Kudekap peri mungil ku erat, hingga akhirnya terlelap.
Aku berusaha menyilangkan tanganku di atas mata. Silau.
Langit tak lagi berwarna gelap kebiruan melainkan cerah. Mentari sudah siap di posisinya.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka, ‘Selamat pagi ayah!’. Sebuah kecupan mendarat di pipiku.
Kuusap kepalanya.
Kupeluk dan kugendong dia.
Kubiarkan matahari cemburu melihat tawa kami.
Kutemukan arti bahagia. Pagi ini.

By drivojansen, on August 25th, 2010


Sunday, September 26

Pertanyaan dan Jawaban

Sunday, September 26
Kalau orang tanya: 'Seberapa banyak cintamu padanya?' dan kau jawab: 'Banyak!'.
Kau pasti bohong. Cintamu satu dan hanya untuknya.

Lalu ditanya lagi: 'Sebesar apa kau mencintainya?' kau jawab: 'Seluas Semesta!'.
Kau juga bohong. Cintamu hanya sekecil lengkung senyum dibibirnya.

Lalu ditanya: 'Sebahagia apa kau dengannya?' lalu jawabmu: 'Bahagia sekali'.
Kau pun bohong. Hanya sekali? Dari setiap kali kesempatan bersama?

Lalu kalau ditanya: 'Secepat apa kau akan datang jika disuruh menghampiri dia yg kau sayang?' dan kau jawab: 'Secepat kilat', itu jg bohong.
Tahukah kau kalau kilat itu akan datang setelah menunggu hujan muncul? Jadi, apakah kau memberi jeda 'menunggu' dulu baru kau datang?

Lalu ditanya: 'Serumit apa kisah cintamu?' kau jawab: 'Serumit benang kusut', itu bohong.
Cari ujung benang, mulai urai satu persatu. Bisa!

Lalu ditanya: 'Apakah cinta kalian akan selamanya?' kau jawab: 'Iya', itu bohong.
Lupakah kalian pada jurang yang bernama 'kematian'?

Ditanya lagi: 'Sedalam apa cintamu?' dan kau jawab: 'Sedalam samudera', bohong besar. Tidakkah kau tahu, samudera terdalam pun dapat diukur?

Lalu ditanya: 'Seberapa berarti dia?' kau jawab: 'Dia hidupku', itu klise!
Kau saja kadang tak menghargai hidupmu. Masih berani ngomong begitu?

Ditanya: 'Apa arti cinta bagimu?' kau jawab: 'Dia, kekasihku!' Sempit sekali!Warga bumi bukan kau dan dia saja. Masih ada milyaran! Hargai!

Lalu jika ditanya: 'Kau cinta dia?' dan kau jawab: 'Ya', tahan dulu! Jangan gegabah.
Sudah berkenalan kah dengan teman baru bernama 'proses'?

Lalu ditanya: 'Akan berakhir dmn kisahmu' dan kau jawab: 'Pelaminan'. Kau salah.
Harusnya kau jawab berakhir di kebahagian. Lagipula tak tahukah kau ada si 'meja hijau' itu?

Kalau ada yang tanya: 'Penilaianmu terhadapnya?' kau jawab: 'Sempurna', itu dusta.
Tak pernah kah kau dengar apa yg sering diucap Bunda Dorce?

Ah sudah lah tak usah banyak bertanya. Lagipulah bukan kah cinta itu harusnya tanpa tanda tanya? ini baru benar.



Tentang Pasrah

Pasrah itu bukan tentang meminta, tapi tentang memberi. Ya, Ikhlas.

Pasrah itu bukan tentang menyerah. Tapi justru tentang gairah. Demi pencapain yang tertunda.

Pasrah itu bukan tentang mimpi dan angan. Tapi ia tentang kenyataan. Sekarang ini.

Pasrah itu bukan tentang sempitnya pemikiran tapi tentang lapang dada

Kalau cinta itu aku-pada-mu, tapi kalau pasrah itu aku-pada-Mu.

Pasrah itu bukan ketika kata 'Yasudah' yang muncul, tetapi berganti menjadi kata 'Baiklah'.

Pasrah itu ketika hati berserah tanpa meninggalkan tanda tanya besar berujung resah

Pasrah itu ketika kedua telapak tangan memagut serta lutut bertelut dan nama Tuhan yang disebut

Pasrah itu ketika Tuhan menyahut sementara namanya disebut. Tenang, jangan takut.

Pasrah itu irama jelas akan sebuah penyerahan. Ber not balok-kan doa dan berkunci-kan ikhlas.


Pasrah itu ketika helaan nafas diawali syukur dan diakhiri dengan doa.

Pasrah itu ketika yang diharap tidak sesuai bukan menjadi marah tapi justru berujung rela.

Dan Pasrah itu tentang aku, sekarang ini.

Wednesday, September 22

Semesta, Titip Rindu

Wednesday, September 22



Semesta, coba intip apa yang sedang dibuatnya.
Lalu beritahu aku. Aku tetiba rindu.

Semesta, coba rasuki pikirnya. Bisikkan namaku.
Agar kami bertemu di ruang yang sama.
Ruang rindu.

Semesta, coba kau rasuki retinanya.
Apakah dia menangkap pancaran mata hatiku, yang sedang kucoba tembus melalui matanya?

Semesta, coba lewati tengkuknya.
Apakah dia bergidik saat kucoba hembuskan angin pembawa rindu ini?

Semesta, coba rasuki bibirnya.
Nama siapa yang terakhir diucapnya. Adakah namaku disebut?

Semesta, coba genggam tangannya.
Isi ruang kosong di jarinya. Selipkan kerinduanku di sekujur tubuhnya.

Semesta, coba masuk ke indera penciumannya.
Lalu ke aliran napasnya. Adakah namaku di tiap hela oksigen yang hinggap di paru-parunya?

Semesta, tolong kau merayap lewat pembuluh venanya.
Diam-diam berselancar di aliran darahnya. Adakah kepingan namaku juga mengalir disitu?

Semesta, coba kau dengar degub jantungnya.
Adakah hentakannya bergerak lebih cepat ketika raga ini mendekat?

Semesta, coba intip jendelanya.
Adakah dia merindu bintang sama seperti aku merindu dirinya?

Semesta, saya rindu sama rasa rindu.

Semesta, aku rindu dia.




Tuhan-pun Perasa, Apalagi Aku

Tuhan sepertinya sedang marah besar. Terlihat dari matahari saat ini. 'Neraka bocor',kata-Nya

Tapi Tuhan juga sering menangis. Terlihat dari bulir air hujan yang turun entar dari nirwana sebelah mana. Lari berlomba menyentuh tanah.
Tuhan juga jago bersiul. Coba dengar bisikan angin. Atau coba lihat lambaian dedaunan. Merdu bukan?
Dan Tuhan juga bisa marah. Dengar suara seperti rocker itu, Dia bernyanyi melalui petir? Entah jenis rock macam apa, akupun tak tahu
Dan Tuhan juga bisa galau. Walaupun umurnya tak (hanya) belasan lagi, tapi coba lihat awan mendung! Siapa lagi pemiliknya kalau bukan Dia?
Tuhan itu baik. Diciptakannya semua rasa, agar kitapun merasa. Yang disebut perasaan.
Tapi satu hal yang pasti, Dia pasti sedang berbahagia waktu menciptamu. Terlihat dari rupamu. Sempurna.
Bunda dari TV sebelah mengatakan kesempurnaan milik yg di atas. Dia benar. Kau menempati kepalaku. Bagian teratas dr struktur tubuhku.
Mungkin Tuhan sedang kesal waktu mencipta hatiku. Buktinya keras. Maka diciptanya kau untuk mencairkan. Agar seimbang, kata-Nya.
Menciptamu bukan dari tulang kepalaku agar bisa lebih berkuasa atas aku. Atau dari tulang kakiku agar kau bisa aku kuasai.
Tapi menciptamu dari tulang rusukku, organ terdekat dari hatiku. Agar kita sejajar. Saling menyeimbangkan. Baik atas nama hidup maupun cinta
Tp aku bingung, apakah tulang rusuk tiap orang beda? Makanya ku ambil penggaris. Mengukurnya, lalu mencari orang dgn ukuran yg sama.
Itu bisa jadi kau. Coba buka hatimu biar kuselami, sampai kutemukan tulang rusuk itu dan mengukurnya. Berserah dalam nama proses.
Semoga hal yang dinamakan proses itu cepat datang. Sebelum tulang ku jadi keropos dan tulang kering berubah jadi basah.

Cerita Si Laut dan Matahari



Ternyata matahari dan laut itu cocok. Menguasai semesta, serasa dunia milik berdua.


Matahari memberi nafkah sinar sementara laut yang bertugas melindungi anak yang ada di dalam perutnya. Romantis bukan?
Tapi bukan hidup namanya kalau semua seturut skenario. Itu sinetron.

Pun rumahtangga matahari dan laut.

Namanya Angin. Dia suka merecoki laut. Jurus saktinya, mengamuk. Hanya berani datang kalau dibantu awan gelap. Sedikit banci memang.
Dan kalau dia sudah datang begini, dia mampu membuat anak-anak di dalam perut laut takut dan gemetar.
Tapi disaat beginilah, si Ayah Matahari yang mengambil alih kendali. Membantu menenangkan sang laut.
Aku iri pada laut.

Suatu hari nanti, aku mau punya laut-ku sendiri.

Seseorang untuk kutaklukan dan kutenangkan.


Tuesday, September 7

Cerita Wanita (Bagian I)

Tuesday, September 7
Awalnya hening. Sore itu hanya ada senja kemerahan yang menemani kami. Ketika dua mata saling bertatap, dan bibir tertutup rapat.
'Jadi apa maksud ini semua?' dengan geram ia bertanya. Dan untuk ke-sekian kalinya aku terdiam.
Aku tak mampu menjawab, hanya bisa menunduk.
Lalu dia menguncang-guncang tubuhku. Sambil setengah berteriak,'ceppaaat jawwaaab!'.
Aku mencoba mengerahkan segenap kekuatan. Mencoba mengangkat tegak kepalaku. Menarik nafas. 'Aku mau cerai!'.
Seketika dia melempar beberapa lembar kertas surat di dalam amplop. Dan secepat itu juga sebuah telapak tangan mendarat di pipiku. PLAAK!
Aku masih tertunduk. Mungkin sikap pasrah ini yang membuatnya semakin menjadi-jadi.
'Ini sudah keputusanku. Kau lebih pantas mendapatkan wanita yang lebih baik. Wanita yang lebih bisa memberimu keturunan. Aku sudah ikhlas'. Aku mencoba menjelaskan perlahan.
'Kenapa baru sekarang kau bilang? Kenapa tak kau bilang dari dulu-dulu? Sudah berapa anak yang kupunya kalau begini ceritanya?' maki si pria ketus.
'Maaf'. jawabku. Hanya kata itu yang terlontar dan ada di pikiranku saat ini. Aku berusaha meraih tangannya. Menggenggamnya, mungkin untuk yang terakhir kali.
'Ah, sudahlah. Kapan kita mulai proses ini?' sahutnya sambil menghempaskan lenganku. Badanku ikut terhempas oleh tubuh besarnya.
Dikutipnya kembali amplop berisi surat tadi dari lantai, dan berlalu pergi. Seperti biasa, tanpa pamit.
Sementara aku masih terdiam disini. Duduk sendiri di atas sofa, ditemani langit yang sudah berubah gelap.
Pipi yang berbekas merah serta siksaan raga sekejap reda. Hilang ditelan sakitnya hati. Secepat itu dia men'iya'kan permohonanku? Perceraian ini?
Dan ini antiklimaksnya. Emosi ku pecah. Rasa yang tadi coba kutahan, akhirnya lepas.. Berbentuk butiran air yang keluar perlahan. Turun melewati pipi. Basah.
Hanya itu kekuatan ku saat ini. Berserah pada air mata, membuat ku lega. Dan itu sudah lebih dari kata cukup.



*cerita ini terinspirasi dari video di youtube yang direkomendasikan si Prabu*


DRIVO JANSEN © 2014