Sunday, October 31

Aku, Palsu.

Sunday, October 31
matamu tertuju padaku,
padahal mata hatimu tertuju kepadanya.


bibirmu tersenyum ke arahku,
namun hanya namanya yang tiap malam kau sisipkan dalam setangkup doa.


kupingmu mendengar ucapku,
tapi kenapa hanya ketika mendengar namanya saja kau ikut berucap?


tanganmu betul meraihku,
tapi tangamu yang satu lagi tak rela juga melepasnya.


kakimu memang meringankan langkahku,
tapi kenapa tak pernah kau arahkan ia agar melangkah ke arahku?


oh ternyata aku baru paham.

makna kata palsu itu.

aku.



Thursday, October 28

Cinta Tanda Baca

Thursday, October 28
Spasi ini kosong

Tak sanggup dia mendekatkan aku hatiku dan kamu

Dia butuh titik untuk mengakhiri

Bukan sebuah koma untuk digantungi

Sudah tak usah pakai tanda tanya

agar langsung bergegas menuju tanda seru

dan sudah jangan kau bicara tentang akhir

selama halaman terakhir buku bernama kehidupan ini belum terisi

belum habis tergores tinta

masih ada kita,

cinta.




Saturday, October 23

Jika Rintik Hujan Itu, Kamu

Saturday, October 23


Jika rintik air ini adalah caramu ingin bertemu denganku. Kubiarkan hati ini meluap akibat curah hujanmu.

Jika hujan ini adalah cara Tuhan untuk memberi pelangi di setiap akhir awan kelabu, maka boleh lah Dia juga menyirami aku dengan peluh-Nya.

Jika hujan ini adalah cara Tuhan untuk mengingatkan aku tentang kamu. Boleh aku minta pada-Nya agar dimusnahkan saja? Karena cukup menyakitkan.

Jika hujan adalah cara Tuhan menyiksa manusia melalui rindu, boleh kah aku menikmatinya dulu? Selagi bayangmu masih bersemayam dalam kalbu.

Jika hujan adalah kamu. Akan ku keringkan lautan hati ini. Kubiarkan ia penuh meluap keluar oleh rintikmu, sebagai persediaan cintaku

Jika hujan itu kamu. Kubiarkan lautan hati yg kering ini penuh meluap. Kuambil sejumput demi sejumput. Kusisakan sebagai persediaan cintaku.

Jika hujan itu kamu, pantas saja awan itu kelabu. Terbakar cemburu melihatmu beradu lomba lari ke arahku.


Tapi sayangnya hujan itu kamu. Hanya bisa menatapmu dari jauh. Dari balik bingkai jendela hatiku. Berujungkan rindu.

Tuesday, October 12

Oksimoron Teraneh itu Aku

Tuesday, October 12
aku ini oksimoron teraneh.
coba dengar.
jantung ini berdegub tetiba kencang.
coba lihat.
rambut halus di sekitar tengkuk pun seolah beredesis.
coba rasakan.
aliran darah mengalir seperti beradu cepat.
coba pikirkan.
otak seketika ikut merangkai 26 huruf menjadi kata-kata.
semua kericuhan itu mendadak terjadi.
ketika kau tampak dihadapanku..
tetapi kenapa hanya bibir ini yang diam?


Saturday, October 9

Khafilah Pencari Rumah

Saturday, October 9


Dicari! RUMAH.

Berpintukan rasa menghargai.
Sehingga ide apapun bisa masuk kedalamnya.
Tanpa mengenal apa itu dicemooh.

Berjendelakan kesabaran.
Dan tak mengenal amarah.
Tak perlu ada wajah muram yang selalu memandang.

Beratapkan perlindungan.
Sehingga tak perlu mengenal apa itu takut.
Untuk kaki berpijak di bawahnya.

Berpondasikan cinta.
Sehingga tak perlu mengenal muram.
Karena ada tawa di setiap materinya.

Aku khafilah yang sedang mencari tempat singgah.
Jika kalian menemukan tempat itu, beritahu aku.

Tentang Mendung. Tentang Aku.


Mendung itu kelabu yang membayangi hati.
Menyingkap kegalauan di tengah kekacauan. B
ertengger di dahan jiwa yang rapuh.
Menyisakan kicau.

Mendung itu mengundang rintik hujan yang jatuh.
Laksana air mata yang menggantung di pelupuk retina.
Menunggu jatuh, akibat rindu.

Cerah matahari yang tetiba berubah jadi gelap awan.
Entah hati siapa yang sedang tersakiti atau yang menyakiti.
Disitupun tampak mendung.

Pun jiwa yang malas.
Bergerak serasa susah.
Memang bukan salah bunda mengandung.
Atau salah teman-temannya Cinta.
Lihat keluar, mendung!

Langit ikut pudar. Tadi biru sekarang kelabu.
Entah cinta siapa yang dicontohnya.
Terselip mendung, disitu.

Hanya terdengar butir hujan yang semakin mengeras.
Sementara hati terus berkeras, ingin seperti mereka bebas.
Pun ada mendung disitu!

Langit lega mencurahkan isi hatinya.
Lihat hujan itu. Tp kenapa hati tetap mengganjal?
Coba tanya mendung. Mungkin dia tahu rahasianya!

Berharap matahari datang cepat.
Menyudahi kegalauan ini dengan sinarnya.
Karena mendung itu aku. Sekarang ini.


Adakalanya, Diam.



Otak dicipta dari ribuan bahkan jutaan saraf.
Pantas dia tak bisa diam.
Bekerja dan berpikir.
Bahkan ketika raga ini lelap di alam mimpi.


Begitu pun dua bola mata ini.
Pancaran penasaran.
Entah apa yang mampu membuatnya mampu berkedip lebih cepat dari hitungan detik?


Juga telinga yang berdaun dua ini.
Sekencang apapun gendang di dalamnya,
dia mampu menangkap berita sekecil apapun juga.


Pun dua lubang hidung ini.
Penyaring hebat yang pernah ada.
Si kotor mampu dipisahnya dari si bersih.
Otomatis.


Ada juga dua tangan ini.
Terdiri dari sepuluh jari untuk bekerja serta lengan untuk tempatmu bersandar.


Juga dicipta-Nya dua kaki ini.
Untuk menapaki jalan.
Bernama kehidupan.


Jika semua dijadikan dua?
Lantas kenapa bibir kenapa hanya diciptakan satu?
Apa ini yang dinamakan Tuhan tidak adil?


Apakah supaya bibir tidak lebih cepat marah
daripada mata untuk melihat atau telinga untuk mendengar? Mungkin.


Tapi yang pasti Tuhan benar.

Kadang kala menjadi diam itu baik.



Saturday, October 2

Terpenjara. Aku.

Saturday, October 2


Terpenjara itu ketika kata terperangkap dalam dada. Sementara rindu sedang melanda.
Terpenjara itu bagaikan hamparan angan. Di rongga otak, dia tertahan. Ingin berlari melewati bibir. Sungguh getir.
Terpenjara itu ketika kumpulan huruf telah berkumpul. Kalimat menjadi satu. Terperangkap dalam tanda kurung, bernama rindu.
Terpenjara itu tak bisa berbuat apa. Membuat terbalik. Mata tak lagi berkedip ketika hati yang sudah mulai bicara.
Jarak dan waktu memenjarakanku. Imagi akan dirimu menyiksaku. Berharap ada yang mengobatiku. Rindu.
Penjara itu kamu. Menyiksaku dari dalam, anehnya membuat aku tak mau keluar. Membiarkan diri terisolasi jeruji hatimu.
Dan aku mau dipenjara.Mendiami ruang sempit di hatimu. Hanya ada kau, aku dan kita. Melebarkan pemikiran tentang cinta.
Apakah mencintaimu adalah hal kriminal? Sehingga kau masukkan aku ke penjara hatimu? Kau jadikan aku tahanan rindumu?

Dan Terpenjara itu aku. Dalam jeruji bayang mu.

Bahagia Itu, Pagi Ini

Langit masih gelap kebiruan. Tapi aku sudah bersiap mengais rejeki di tengah kerasnya ibukota yang katanya lebih kejam dari ibu tiri.
Semua ini demi selengkung senyum kebahagian di bibir mungil milik perempuan kecil berumur sepuluh tahun. Satu-satunya harta yang kupunya.
Ku kecup keningnya, menandakan aku pamit kerja.
Langit dengan cepat berubah gelap kembali. Ganti bintang dan bulan yang kerja. Pertanda aku sudah harus menyudahi rutinitas ini.
Rasanya waktu dua puluh empat jam itu kurang. Kalian boleh memanggilku si hamba uang. Tapi teringat lagi, peri mungilku. Masa depannya. Bahagiaku.
Setiba dirumah, kubuka gagang pintu kamarnya. Lampu sudah mati.
Hanya terlihat siluet gadis kecil memeluk guling sedang tertidur lelap.
Aku datang mendekat. Ku kecup keningnya. Kali ini memberitahu bahwa aku sudah dirumah.
Perlahan aku keluar sambil berusaha tidak membuat suara, agar peri kecilku tidak terbangun.
Entah kenapa, kakiku menuntun langkahku ke daerah sekitar dapur. Entah kaki atau perut yang kali ini berperan.
Aku terperanjat. Ada sehelai kertas tertahan magnet tergantung menempel di pintu kulkas bagian atas.
Terlihat tulisan cakar ayam di dalamnya. Tahulah aku siapa penulisnya.
Ayah.
Pasti ayah baru pulang waktu baca surat ini.
Dan aku sudah bermain bersama peri lain di alam mimpi.
Memang ayah tak pernah lelah berlomba dengan matahari?
Pergi mendahului matahari dan pulang sesudahnya.
Padahal aku ingin menyimpan tas kerja ayah di kala ayah membuka pintu.
Menyediakan air minum ketika ayah sedang duduk bersandar di sofa.
Diucapkan ‘selamat tidur’ oleh ayah.
Diusap kepalanya.
Seketika air mata ini tumpah.
Belum selesai kubaca kalimat berikutnya. Tak tahan hati ini.
Ada apa di otakku. Kebahagian macam apa yang sedang ku coba berikan.
Tersadar aku.
Lalu aku melangkahkan kakiku kembali ke kamarnya.
Kurebahkan tubuhku disampingnya. Kupandangi dirinya. Air mata kembali tumpah. Seketika rasa bodoh dan bersalah menyelimuti aku.
Kudekap peri mungil ku erat, hingga akhirnya terlelap.
Aku berusaha menyilangkan tanganku di atas mata. Silau.
Langit tak lagi berwarna gelap kebiruan melainkan cerah. Mentari sudah siap di posisinya.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka, ‘Selamat pagi ayah!’. Sebuah kecupan mendarat di pipiku.
Kuusap kepalanya.
Kupeluk dan kugendong dia.
Kubiarkan matahari cemburu melihat tawa kami.
Kutemukan arti bahagia. Pagi ini.

By drivojansen, on August 25th, 2010


DRIVO JANSEN © 2014