Monday, April 25

Suatu Pagi di Daerah Mall Taman Anggrek dan Sekitarnya.

Monday, April 25
Pagi dan sepi.
Definisi damai yang sebenarnya.



Apa persamaan matahari dan menara listrik?
Hal yang kita butuhkan di pagi hari, sumber energi.



Melihat dari ketinggian.
Namun tetap berpijak dari kerendahan.




Saturday, April 23

Buku dan Si Burung Pekicau

Saturday, April 23
Siang itu terik sekali. Aku bisa mendengar pembicaraan dua orang wanita yang saling mengobrol melalui telepon genggam itu. Sambil berbicara dia menggerakkan telapak tangan membentuk semacam kipas karena gerah.

Sesekali dia melirik aku.

Dari sini aku bisa mendengarkan pembicaraan mereka.

"Elo emang udah follow dia? Gw barusan di-mention." tanya wanita yang di ujung telepon.

"Yaelah, gw udah di-follow dari sebulan yang lalu!" sahutnya dengan nada penuh bangga.

Aku mulai bingung. Apa yang sebenarnya diperbincangkan kedua wanita ini dari tadi.

Follow? Mention? Retweet? Dan sesekali aku mendengar kata Twitter.


Sudah hampir seharian aku dibiarkan tergeletak di atas meja. Dibiarkan terbuka dengan pembatas persegi panjang di halaman yang masih sama. Tidak berubah dari beberapa minggu yang lalu.


Sudah beberapa bulan ini aku memperhatikan dia. Sementara aku bisa melihat mimik wajahnya berubah-ubah. Mulai dari tertawa terbahak hingga tiba-tiba mengerutkan dahi. Tapi tetap dengan jempol yang menempel di keypad telepon genggam. Mengetik dengan cekatan.

Dan beberapa hari berikutnya aku masih tergeletak di meja. Masih dibiarkan terbuka. Dengan halaman yang sama. Namun kali ini bedanya ada debu yang mulai menempel di tubuhku.

Sepertinya dia sudah lupa padaku. Betapa aku dulu kecintaannya.

Diam-diam aku bergerak menuju meja komputernya. Kutekan tombol untuk menyalakan monitornya. Kulihat halaman situs terakhir apa saja yang dikunjunginya.

Dan benar saja, nama Twitter muncul berbaris.

Ternyata ini yang menyebabkan aku dibiarkan berdebu selama ini. Mainan baru yang mencuri perhatian terhadap aku.

Aku mulai mengarahkan mouse komputer menuju petunjuk 'Buat akun baru'. Dan ya, berhasil! Aku resmi terdaftar di situs jejaring sosial ini.

Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Matanya langsung menuju ke arah komputer yang menyala.


Apa aku lupa mematikan komputer? Dengan internet dan situs twitter yang masih terpampang di layar? Pikirnya.

Dia bingung melihat kenapa aku tergeletak di depan komputer. Sementara aku pura-pura tak bergerak agar tak ketahuan.

Dia menyentuhku. Sedikit membersihkan debuku. Apa ini pertanda dia akan memberi perhatian kepadaku kembali? Aku berharap cemas.

Hinga, BRAAK! Terdengar bunyi benda jatuh di lantai. Ya, itu aku!

Dia begitu saja melempar aku sementara tangannya langsung beralih ke situs jejaring sosial itu.

Dan benar, rasa penasaran itu menyakitkan. Twitter (hampir) membunuhku.





Cerpen ini dibuat untuk merayakan Hari Buku yang jatuh tepat hari ini.
Sudah berapa banyak buku yang dibaca setelah membuka akun twitter?

Jika buku bisa menangis, dia pasti akan berkata: Kalian berubah :'(

Terinspirasi dari fiksimini saya yang dibuat tadi pagi.

PENASARAN. tidak mau ketinggalan, buku pun membuka akun di twitter. @fiksimini

Sunday, April 17

Cinta yang Berseberangan

Sunday, April 17
Matahari siang ini tampak seperti sedang emosi. Terlihat dari temperaturnya yang sedang naik. Sementara aku mulai melangkahkan kaki keluar dari pintu gerbang sambil sesekali memicingkan mata ke atas. Kecilin sedikit suhunya, PLEASE! batinku dalam hati.

Dan handphone-ku tetiba bergetar. Sebuah pesan singkat masuk.

Aku sudah dijalan. Sampai bertemu nanti.

Entah kenapa bibir ini langsung membentuk lengkungan ke atas. Ya, kebahagiaan itu bisa datang darimana saja. Termasuk pesan yang sangat singkat dari orang tersayang.

Aku sudah sampai di tempat biasa. Cafe es krim dari jaman belanda tak jauh dari Stasiun Kereta Juanda. Dan tanpa ditanya lagi, Mbak Pelayan sudah tahu bahwa aku akan memesan Spaghetti Ice Cream dan Banana Split layaknya beberapa bulan belakangan ini.

Tak sampai sepuluh menit sosok yang ditunggu muncul di hadapanku. "Maaf, macet!" sahutnya sambil cengengesan.

"BASI!" jawabku sambil berpura-pura membuang muka dan cemberut.

"Ih, gitu aja ngambek! Malu kamu sama umur," celotehnya sambil mengunel-unyel rambutku. Aku masih belum memberi reaksi.

"IYA! Aku minta maaf!" lanjutnya. Dan tiba-tiba sebuat kecupan mendarat di keningku.

Aku mulai tertawa cengengesan. "Nah, gitu dong!".

"DASAR, kamu! Alasan aja. Bilang aja minta dicium!" sahutnya sambil mengambil posisi duduk.

Dan hal berikutnya yang kami nikmati adalah es krim dan obrolan absurd penuh tawa.

Jumat siang dan es krim memang sudah menjadi semacam ritual sebelum kami menjalankan ritual yang sesungguhnya. Dan tak terasa matahari sudah tepat berada di atas kepala. Menandakan sebentar lagi waktu akan menunjukkan pukul dua belas.

"Sudah waktunya, ayo pergi!" sahutku sambil menyudahi pembicaraan.

Dan kami pun mengucap kata perpisahan sambil saling membalas lambaian tangan. Mulai melangkahkan kaki ke arah yang berbeda. Berseberangan.

Aku melangkahkan kaki ke sebuah bangunan bergaya gotik tak jauh dari situ. Bangunan berwarna coklat dengan lambang salib di atasnya. Ada ritual kebaktian di jam seperti ini. Persekutuan menghadap kepada Tuhan.

Sementara dia melangkahkan kakinya ke sebuah bangunan bergaya timur tengah dengan kubah megah di atasnya. Dia pun akan menghadap Tuhan-nya dalam ritual Shalat Jumat.

Aku tak ingin lagi berbicara tentang aku dan dia melainkan tentang kami.

Ya, cinta kami satu walau rumah Tuhan kami berseberangan.

Entahlah dimana cinta ini akan berujung. Bahkan semesta pun belum berani menyingkapnya. Yang kami tahu, selama kami masih memuja Tuhan maka selama itu pula kami akan mengagungkan cinta.



Saturday, April 16

Serpihan Imagi

Saturday, April 16
Satu kepalaku namun cukup menyimpan ribuan imaji tentangmu.

Namun deras hujan serta angin kencang datang mebuyarkan pikiran.
Imaji itu hilang berantakan.
Terpencar berserakan.


Laksana serpihan kaca kupungut imaji itu satu-persatu.
Mencoba mengurainya menjadi gambar utuh kembali.
Ya, wajahmu!



Tanpa terasa tangan bersimbah darah. Entah kenapa?
Apa ini yang disebut nestapa?
Akan hati yang tidak bersambut sapa?


Entah sampai kapan luka ini akan menganga.
Selama retina mata masih terjaga.
Selama itu kenangan akan terjaga juga.

Mimpiku hanya satu.
Agar serpihan imaji itu tersusun kembali.
Dan gambar wajahmu muncul menghiasi pikiranku lagi.



Namun ada satu bagian hilang dari imagi itu.
Entah dimana ia terpisah.
Bagian yang paling kurindukan.
Ya, senyummu.



DRIVO JANSEN © 2014