Sunday, September 26

Pertanyaan dan Jawaban

Sunday, September 26
Kalau orang tanya: 'Seberapa banyak cintamu padanya?' dan kau jawab: 'Banyak!'.
Kau pasti bohong. Cintamu satu dan hanya untuknya.

Lalu ditanya lagi: 'Sebesar apa kau mencintainya?' kau jawab: 'Seluas Semesta!'.
Kau juga bohong. Cintamu hanya sekecil lengkung senyum dibibirnya.

Lalu ditanya: 'Sebahagia apa kau dengannya?' lalu jawabmu: 'Bahagia sekali'.
Kau pun bohong. Hanya sekali? Dari setiap kali kesempatan bersama?

Lalu kalau ditanya: 'Secepat apa kau akan datang jika disuruh menghampiri dia yg kau sayang?' dan kau jawab: 'Secepat kilat', itu jg bohong.
Tahukah kau kalau kilat itu akan datang setelah menunggu hujan muncul? Jadi, apakah kau memberi jeda 'menunggu' dulu baru kau datang?

Lalu ditanya: 'Serumit apa kisah cintamu?' kau jawab: 'Serumit benang kusut', itu bohong.
Cari ujung benang, mulai urai satu persatu. Bisa!

Lalu ditanya: 'Apakah cinta kalian akan selamanya?' kau jawab: 'Iya', itu bohong.
Lupakah kalian pada jurang yang bernama 'kematian'?

Ditanya lagi: 'Sedalam apa cintamu?' dan kau jawab: 'Sedalam samudera', bohong besar. Tidakkah kau tahu, samudera terdalam pun dapat diukur?

Lalu ditanya: 'Seberapa berarti dia?' kau jawab: 'Dia hidupku', itu klise!
Kau saja kadang tak menghargai hidupmu. Masih berani ngomong begitu?

Ditanya: 'Apa arti cinta bagimu?' kau jawab: 'Dia, kekasihku!' Sempit sekali!Warga bumi bukan kau dan dia saja. Masih ada milyaran! Hargai!

Lalu jika ditanya: 'Kau cinta dia?' dan kau jawab: 'Ya', tahan dulu! Jangan gegabah.
Sudah berkenalan kah dengan teman baru bernama 'proses'?

Lalu ditanya: 'Akan berakhir dmn kisahmu' dan kau jawab: 'Pelaminan'. Kau salah.
Harusnya kau jawab berakhir di kebahagian. Lagipula tak tahukah kau ada si 'meja hijau' itu?

Kalau ada yang tanya: 'Penilaianmu terhadapnya?' kau jawab: 'Sempurna', itu dusta.
Tak pernah kah kau dengar apa yg sering diucap Bunda Dorce?

Ah sudah lah tak usah banyak bertanya. Lagipulah bukan kah cinta itu harusnya tanpa tanda tanya? ini baru benar.



Tentang Pasrah

Pasrah itu bukan tentang meminta, tapi tentang memberi. Ya, Ikhlas.

Pasrah itu bukan tentang menyerah. Tapi justru tentang gairah. Demi pencapain yang tertunda.

Pasrah itu bukan tentang mimpi dan angan. Tapi ia tentang kenyataan. Sekarang ini.

Pasrah itu bukan tentang sempitnya pemikiran tapi tentang lapang dada

Kalau cinta itu aku-pada-mu, tapi kalau pasrah itu aku-pada-Mu.

Pasrah itu bukan ketika kata 'Yasudah' yang muncul, tetapi berganti menjadi kata 'Baiklah'.

Pasrah itu ketika hati berserah tanpa meninggalkan tanda tanya besar berujung resah

Pasrah itu ketika kedua telapak tangan memagut serta lutut bertelut dan nama Tuhan yang disebut

Pasrah itu ketika Tuhan menyahut sementara namanya disebut. Tenang, jangan takut.

Pasrah itu irama jelas akan sebuah penyerahan. Ber not balok-kan doa dan berkunci-kan ikhlas.


Pasrah itu ketika helaan nafas diawali syukur dan diakhiri dengan doa.

Pasrah itu ketika yang diharap tidak sesuai bukan menjadi marah tapi justru berujung rela.

Dan Pasrah itu tentang aku, sekarang ini.

Wednesday, September 22

Semesta, Titip Rindu

Wednesday, September 22



Semesta, coba intip apa yang sedang dibuatnya.
Lalu beritahu aku. Aku tetiba rindu.

Semesta, coba rasuki pikirnya. Bisikkan namaku.
Agar kami bertemu di ruang yang sama.
Ruang rindu.

Semesta, coba kau rasuki retinanya.
Apakah dia menangkap pancaran mata hatiku, yang sedang kucoba tembus melalui matanya?

Semesta, coba lewati tengkuknya.
Apakah dia bergidik saat kucoba hembuskan angin pembawa rindu ini?

Semesta, coba rasuki bibirnya.
Nama siapa yang terakhir diucapnya. Adakah namaku disebut?

Semesta, coba genggam tangannya.
Isi ruang kosong di jarinya. Selipkan kerinduanku di sekujur tubuhnya.

Semesta, coba masuk ke indera penciumannya.
Lalu ke aliran napasnya. Adakah namaku di tiap hela oksigen yang hinggap di paru-parunya?

Semesta, tolong kau merayap lewat pembuluh venanya.
Diam-diam berselancar di aliran darahnya. Adakah kepingan namaku juga mengalir disitu?

Semesta, coba kau dengar degub jantungnya.
Adakah hentakannya bergerak lebih cepat ketika raga ini mendekat?

Semesta, coba intip jendelanya.
Adakah dia merindu bintang sama seperti aku merindu dirinya?

Semesta, saya rindu sama rasa rindu.

Semesta, aku rindu dia.




Tuhan-pun Perasa, Apalagi Aku

Tuhan sepertinya sedang marah besar. Terlihat dari matahari saat ini. 'Neraka bocor',kata-Nya

Tapi Tuhan juga sering menangis. Terlihat dari bulir air hujan yang turun entar dari nirwana sebelah mana. Lari berlomba menyentuh tanah.
Tuhan juga jago bersiul. Coba dengar bisikan angin. Atau coba lihat lambaian dedaunan. Merdu bukan?
Dan Tuhan juga bisa marah. Dengar suara seperti rocker itu, Dia bernyanyi melalui petir? Entah jenis rock macam apa, akupun tak tahu
Dan Tuhan juga bisa galau. Walaupun umurnya tak (hanya) belasan lagi, tapi coba lihat awan mendung! Siapa lagi pemiliknya kalau bukan Dia?
Tuhan itu baik. Diciptakannya semua rasa, agar kitapun merasa. Yang disebut perasaan.
Tapi satu hal yang pasti, Dia pasti sedang berbahagia waktu menciptamu. Terlihat dari rupamu. Sempurna.
Bunda dari TV sebelah mengatakan kesempurnaan milik yg di atas. Dia benar. Kau menempati kepalaku. Bagian teratas dr struktur tubuhku.
Mungkin Tuhan sedang kesal waktu mencipta hatiku. Buktinya keras. Maka diciptanya kau untuk mencairkan. Agar seimbang, kata-Nya.
Menciptamu bukan dari tulang kepalaku agar bisa lebih berkuasa atas aku. Atau dari tulang kakiku agar kau bisa aku kuasai.
Tapi menciptamu dari tulang rusukku, organ terdekat dari hatiku. Agar kita sejajar. Saling menyeimbangkan. Baik atas nama hidup maupun cinta
Tp aku bingung, apakah tulang rusuk tiap orang beda? Makanya ku ambil penggaris. Mengukurnya, lalu mencari orang dgn ukuran yg sama.
Itu bisa jadi kau. Coba buka hatimu biar kuselami, sampai kutemukan tulang rusuk itu dan mengukurnya. Berserah dalam nama proses.
Semoga hal yang dinamakan proses itu cepat datang. Sebelum tulang ku jadi keropos dan tulang kering berubah jadi basah.

Cerita Si Laut dan Matahari



Ternyata matahari dan laut itu cocok. Menguasai semesta, serasa dunia milik berdua.


Matahari memberi nafkah sinar sementara laut yang bertugas melindungi anak yang ada di dalam perutnya. Romantis bukan?
Tapi bukan hidup namanya kalau semua seturut skenario. Itu sinetron.

Pun rumahtangga matahari dan laut.

Namanya Angin. Dia suka merecoki laut. Jurus saktinya, mengamuk. Hanya berani datang kalau dibantu awan gelap. Sedikit banci memang.
Dan kalau dia sudah datang begini, dia mampu membuat anak-anak di dalam perut laut takut dan gemetar.
Tapi disaat beginilah, si Ayah Matahari yang mengambil alih kendali. Membantu menenangkan sang laut.
Aku iri pada laut.

Suatu hari nanti, aku mau punya laut-ku sendiri.

Seseorang untuk kutaklukan dan kutenangkan.


Tuesday, September 7

Cerita Wanita (Bagian I)

Tuesday, September 7
Awalnya hening. Sore itu hanya ada senja kemerahan yang menemani kami. Ketika dua mata saling bertatap, dan bibir tertutup rapat.
'Jadi apa maksud ini semua?' dengan geram ia bertanya. Dan untuk ke-sekian kalinya aku terdiam.
Aku tak mampu menjawab, hanya bisa menunduk.
Lalu dia menguncang-guncang tubuhku. Sambil setengah berteriak,'ceppaaat jawwaaab!'.
Aku mencoba mengerahkan segenap kekuatan. Mencoba mengangkat tegak kepalaku. Menarik nafas. 'Aku mau cerai!'.
Seketika dia melempar beberapa lembar kertas surat di dalam amplop. Dan secepat itu juga sebuah telapak tangan mendarat di pipiku. PLAAK!
Aku masih tertunduk. Mungkin sikap pasrah ini yang membuatnya semakin menjadi-jadi.
'Ini sudah keputusanku. Kau lebih pantas mendapatkan wanita yang lebih baik. Wanita yang lebih bisa memberimu keturunan. Aku sudah ikhlas'. Aku mencoba menjelaskan perlahan.
'Kenapa baru sekarang kau bilang? Kenapa tak kau bilang dari dulu-dulu? Sudah berapa anak yang kupunya kalau begini ceritanya?' maki si pria ketus.
'Maaf'. jawabku. Hanya kata itu yang terlontar dan ada di pikiranku saat ini. Aku berusaha meraih tangannya. Menggenggamnya, mungkin untuk yang terakhir kali.
'Ah, sudahlah. Kapan kita mulai proses ini?' sahutnya sambil menghempaskan lenganku. Badanku ikut terhempas oleh tubuh besarnya.
Dikutipnya kembali amplop berisi surat tadi dari lantai, dan berlalu pergi. Seperti biasa, tanpa pamit.
Sementara aku masih terdiam disini. Duduk sendiri di atas sofa, ditemani langit yang sudah berubah gelap.
Pipi yang berbekas merah serta siksaan raga sekejap reda. Hilang ditelan sakitnya hati. Secepat itu dia men'iya'kan permohonanku? Perceraian ini?
Dan ini antiklimaksnya. Emosi ku pecah. Rasa yang tadi coba kutahan, akhirnya lepas.. Berbentuk butiran air yang keluar perlahan. Turun melewati pipi. Basah.
Hanya itu kekuatan ku saat ini. Berserah pada air mata, membuat ku lega. Dan itu sudah lebih dari kata cukup.



*cerita ini terinspirasi dari video di youtube yang direkomendasikan si Prabu*


DRIVO JANSEN © 2014