Tuesday, June 16

Tentang Menikah

Tuesday, June 16

Akhirnya masanya datang juga, dimana pertanyaan-pertanyaan tentang kapan menikah mulai menghantui — well, for me personally, its been like the second year after I hit thirty.
“Umur segini, nunggu apalagi sih?”
“Jadi kapan kau nikah?”
“Itu adek-adekmu udah punya pacar — mana pacarmu?”
Dan masih banyak lagi pertanyaan terselubung yang arahnya menjurus kesana.
Misalnya seperti semalam; ada ritual baru yang biasanya dilakukan, dalam keadaan pandemi seperti ini, yakni mengadakan zoom conference call. Walaupun tidak tentu waktunya, kadang sekali seminggu, atau bahkan lebih. Ya, tujuannya entah hanya sekedar bertanya kabar, berkelakar bersama, yang penting tau keadaan satu sama lain di tengah keadaan terbatas seperti ini. Kebetulan, kedua adik saya mengajak teman dekat mereka untuk ikut bergabung di dalam conference call tersebut, menyisakan saya sebagai objek atas serangan pertanyaan-pertanyaan di atas.
Apakah merasa tersiksa karena pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas? Tentu tidak. Justru, sebagai abang yang paling tua turut senang ketika mengetahui mereka sudah punya teman dekat. Malah, saya berpesan kepada mereka, “tidak usah menunggu, jika kalian sudah siap untuk melangkah ke jenjang berikutnya, silahkan.”
Menikah bukan kompetisi, tidak peduli siapa yang duluan dan siapa yang belakangan.
Menikah juga bukan perkara dikejar-kejar umur. “Umurmu sudah berapa? Cepat-cepatlah menikah.” Apalagi desakan keluarga, teman-teman ketika sedang reunian di kondangan teman, atau tekanan sosial semata.
Dan paling penting, menikah bukan hanya sekedar perkara “Akhirnya, halal!” Bagi saya, kok ya cetek banget menikah hanya untuk melegalkan berhubungan badan. Apalagi biasanya selalu diikuti dengan tambahan argumen, “Ya, daripada sex bebas?” — hadeh.
Menikah jauh lebih dari itu. Dia sakral.
Dia berbicara mengenai menyatukan dua karakter. Hal-hal yang berkaitan dengan ego. Pemahaman akan sifat satu dengan yang lain. Bahkan mungkin lebih dari itu, dia juga menggabungkan dua keluarga. Perbedaan kultur dan latar belakang. Bagaimana dua menjadi satu — atau mungkin tetap menjadi dua, tapi tetap saling berdampingan.
Dia juga berbicara mengenai komitmen. Hal-hal yang berkaitan dengan upaya dan kesetiaan. Bagaimana dua tetap menjadi satu, tanpa orang ketiga.
Dan juga berbicara mengenai kesiapan. Mulai dari mental hingga keuangan— ini yang paling berat. Keduanya harus saling menopang. Pernikahan bukan cerita dongeng putri-putrian. Dia realistis.
Lantas, kapan menikahnya kalo menunggu semua hal di atas?
Tidak ada yang tahu kapan waktu yang pas untuk jawaban pertanyaan tersebut. Setiap orang punya waktu yang berbeda-beda. Tidak perlu memaksakan waktu antara orang yang satu dengan yang lain.
Mungkin saja mereka yang sering memaksamu untuk cepat-cepat menikah, sebenarnya sengaja ingin menyuruhmu merasakan apa yang mereka rasakan, betapa rumitnya kehidupan pernikahan tersebut. Agar supaya berbagi keresahan yang sama. Mungkin saja loh.
Ah, tapi tau apa kamu soal menikah, kamu saja belum menikah?
Iya, betul. Justru karena merasa belum memiliki kualifikasi tersebut di atas sehingga belum berani untuk mengambil langkah jauh, sampai menikah. Ada mimpi dan kesempatan yang masih ingin dicapai, kesiapan mental dan finansial yang belum terpenuhi, dan masih banyak lagi hal yang masih nyangkut di kepala.
Dan jika kamu membaca tulisan ini — sama sekali, tidak ada niat untuk menakuti-nakuti keputusanmu untuk menikah. Apalagi untuk mengesampingkan kekuatan semesta terkait hal ini.
Yang pasti, selama kamu punya kebebasan untuk dirimu sendiri dalam menentukan pilihan mengenai hal ini, karena mungkin banyak orang di luar sana yang tidak punya banyak pilihan soal hal ini,
— pikirkanlah dengan jernih; pada akhirnya, menikahlah karena siap, bukan karena silap.

*postingan ini diposting juga di medium.com/@drivojansen

Monday, June 8

Sebuah Tulisan di Tengah Pandemi

Monday, June 8

"Hai, apa kabar?"

"Gimana, masih waras?"

Sebuah pertanyaan yang seringkali didengar, belakangan ini. Pertanyaan yang mungkin sering ditujukan  kepada  orang lain, tapi kadang lupa menanyakan kepada diri sendiri. 

Sudah sekitar tiga bulan berada di rumah saja, cukup punya banyak waktu luang, karena tidak cukup banyak yang dikerjakan. Walaupun banyak kebiasaan-kebiasaan baru yang entah bertambah atau berubah di kala waktu karantina di rumahada yang mulai senang memasak, berbekal resep online di sosial media, ada juga yang mulai senang dengan dunia tanam-tanaman, merubah sudut di rumah menjadi lebih hijau, atau bahkan iseng-iseng mulai membuat podcast, misalnya.

Atau bagi mereka yang tetap bekerja dari rumah, beradaptasi dengan ritme pekerjaan yang baru. Mengisi absen, lanjut dengan conference callyang mungkin bisa sampai malam, di luar jam kerja seharusnya. Belum lagi harus berurusan dengan pekerjaan rumahliterally. Batas-batas kehidupan dan pekerjaan yang makin kesini, makin tidak tampak, blur.

Apapun dilakukan, mencoba kebiasaan baruatau mungkin kebiasaan lama yang tadinya sudah jarang dilakukan, semuanya dicoba untuk menjaga diri tetap waras di tengah pandemi ini.

Dua bulan pertama, mungkin masih nikmat. Semua dicoba.

Memasuki bulan ketiga, perlahan-lahan mulai bergeser.

Seberapa keras usaha diri untuk tetap menjaga pikiran agar tetap positif, pasti ada satu masa dimana rasa lelah itu tidak bisa ditahan, tumbang juga.

The louder the laugh, the deeper the sadness. 

Hampir dua malam tidak tidur. Mata lelah mengantuk, tapi isi kepala menerawang kesana kemari, segar bugar.  Entah, ada saja yang jadi bahan pikiranlucu sekali jika mengingat kembali apa saja isi kepala saat itu karena sungguh randomnya. Good lord, trust me this is really exhausting.

Mungkin malam itu bagianku, tetap terjaga.

Bisa jadi malam sebelumnya, bagianmu, temanmu, kekasihmu atau salah satu kerabatmu.

Kita mungkin tidak bisa menjaga pikiran untuk selalu waras di tengah pandemi seperti inidi tengah ambigu berita dan realita.

Tapi kita bisa menjaga satu sama lain.





Dimulai dari orang-orang terdekat kitateman, kolega, keluarga.

Hampir setiap hari isi pesan di Whatsapp isinya hanya, "Teman, hari ini masak apa?"

Monoton? Banget. Bosan? Bukan lagi. Saking tidak tahu harus ngobrol apa lagi. Tertawa untuk hal-hal yang kadang apa-banget, yang penting bisa ketawa. Tapi obrolan-obrolan monoton semacam ini yang bisa menjaga satu dengan yang lain.

Atau mungkin, tidak ada salahnya jika kamu mengirimkan pesan "Apa kabar? Sehat selalu!" ke nomor kontak yang mungkin selama ini hanya tersimpan saja di telepon selularmu. Sesederhana itu. 

Tetap jaga dialog, agar kepalamu tidak bermonolog sendiri.

Hingga suatu saat nanti akhirnya, kembali ke kehidupan tanpa perlu was-was lagi dengan keadaan, dimana tatap muka, jabat erat, peluk hangat jadi pengganti dialog.

Ketika kamu membaca tulisan ini, semoga menjadi pengingat bahwa aku, kamu, kita pernah ada di tengah pandemi semacam ini. Dan kita, saling menjaga dan menguatkan.

This too shall pass. 




*tulisan ini dimuat juga di medium.com/@drivojansen
DRIVO JANSEN © 2014