Thursday, June 21

[Movie Review] Di Timur Matahari: Kehidupan Sosial di Balik Indahnya Alam Papua

Thursday, June 21

picture property of www.databasefilm.blogspot.com
 
Salut sama pasangan Ale Sihasale dan Nia Zulkarnaen yang masih konsisten untuk tetap berdiri, membuat film yang berlatar belakang Indonesia Timur.

Kalau kalian ingin melihat Indonesia yang luar biasa, pergilah ke daerah Indonesia bagian timur. Itu yang saya lihat di awal-awal film ini. Keindahan alam disana, luar biasa sekali.

Di Timur Matahari, film yang bercerita mengenai kehidupan sosial masyarakat di Papua. Tentang anak-anak yang tidak sekolah karena tidak punya guru pengganti, mahalnya harga barang-barang kebutuhan pokok hingga pecahnya perang antar karena upaya balas dendam.

Dialog dan cerita yang kurang fokus, kalau tidak mau dikatakan tanggung, karena terlalu banyak aspek yang ingin diceritakan. Serta perpindahan adegan yang satu dan yang lain cukup terasa kasar. 

Tapi saya tetap terpuaskan dengan pemandangan alam yang disuguhkan. Juga penataan musik yang indah. Lagu-lagu dengan dialek Papua yang terdengar asik dan logat yang lucu.

Untuk kualitas akting, tidak usah diragukan lagi, karena ada beberapa nama besar seperti Lukman Sardi, Laura Basuki dan Agus Ringgo yang juga turut bermain di film ini. Begitu juga dengan peran anak-anak Papua seperti Mazmur, Thomas dan Agnes, juga dimainkan sangat baik oleh anak-anak pendatang baru.

Dibalik semua itu, film ini sarat makna dan pesan.

Seandainya bapak-bapak di pemerintahan yang di atas sana menonton film ini. Melihat perjuangan masyarakat Papua, yang boro-boro sempat berpikir bagaimana caranya untuk ikut serta 'mengisi kemerdekaan' di negara ini, untuk mencukupi hidup sehari-hari mereka saja sudah sangat sulit. 

Terlepas dari ending cerita di film ini, yang kalau menurut saya, sangat norak; Kalian harus menonton film ini. Support film lokal yang berkualitas (baca: bukan yang bertema hantu-hantuan atau mengandung unsur bokep) --Ya kalau belum bisa datang langsung menikmati alam Papua yang indah, setidaknya kan udah pernah lihat dulu, walaupun cuma sekedar lewat film. 

(Anyway, ketika sedang menonton film ini, enggak tahu kenapa tiba-tiba terbersit keinginan untuk menjadi relawan sosial di daerah ini selama beberapa bulan. HAHAHA!)


[Movie Review] Soegija: Dan Kisah Kemanusian Dibaliknya.


picture property of www.sesawi.net
 
Ya, film mengenai Uskup pribumi pertama di Indonesia ini akhirnya tayang juga. Walaupun ketika kemunculannya, banyak kontroversi yang beredar. Mulai dari isu penolakan oleh beberapa ormas mayoritas, hingga isu yang paling bodoh yakni tentang usaha Kristenisasi. HAHAHALANGKAHLUCUNYANEGERINI!

Awalnya, yang bikin saya penasaran sama film ini, selain karena temanya yang berbeda dari film-film yang lagi marak di bioskop belakangan yang gak jauh-jauh berkisah seputar nenek yang main gayung, kakek yang main cangkul atau mamak yang minta pulsa; terlebih karena film ini disutradarai oleh Garin Nugroho.

Berkisah di tahun 1940 hingga tahun 1949-an dengan latar belakang perang kemerdekaan, film ini mengangkat kisah kemanusiaan yang terkoyak oleh kekerasan atas nama perang dan penjajahan. 

Terinspirasi dari buku harian Mgr. Albertus Soegijapranata, yang dikenal dengan Uskup Soegija. Di dalam buku tersebut terdapat pemikiran-pemikiran beliau yang inspiratif dalam memegang teguh prinsip-prinsip kemanusiaan, tanpa membeda-bedakan.

Namun, ada juga kisah lain dari tokoh-tokoh yang ditampilkan di film ini. Mariyem (Annisa Hertami) yang terpisah dari abangnya, Maryono (Abe). Lalu mengenai Ling Ling (Andrea Reva) yang terpisah dari ibunya (Olga Lydia). Bukan hanya kisah mengenai bangsa pribumi yang terjajah, namun juga para penjajah itu sendiri. Nobuzuki (Suzuki), seorang tentara Jepang. Robert ( Wouter Zweers), seorang tentara Belanda yang selalu merasa jadi mesin perang yang hebat. Dan ada juga Hendrick (Wouter Braaf), yang menemukan cinta pada penduduk lokal namun tak mampu ia miliki karena Ia adalah bangsa penjajah.

Film ini bukan hanya melibatkan pemain dari Indonesia saja, tetapi juga dari Belanda dan Jepang. Bahasa yang digunakan dalam film ini campur-campur; mulai dari bahasa Jawa, Indonsesia, Belanda hingga Jepang. Terlihat sekali unsur keragaman etnis dan bahasa dalam kesatuan cerita yang merupakan inti dari film ini.

Walaupun menurut saya, cerita di film ini kurang begitu kuat, karena itu tadi, terlalu banyak tokoh tambahan, sehingga adegan penegasan tokoh Uskup Soegija-nya kurang begitu sampai klimaks. Mungkin ekspektasi kita film, sesuai judulnya, akan bercerita mengenai siapa itu sosok Uskup Soegija, apa yang saja yang diperbuatnya dalam misi kemanusiaan sehingga Ia mendapatkan gelar pahlawan nasional.

Namun, terlepas dari penegasan tokoh Uskup Soegija yang kurang begitu terasa, perlu diakui pengadeganan gambar yang dihasilkan di film ini luar biasa. Kental dengan budaya Indonesia, khas Garin Nugroho. Sangat indah.

Dan Djaduk Ferianto yang menjadi penata musik di film ini perlu harus diacungi jempol. Belom pernah dengar alunan 'Bengawan Solo', 'Rasa Sayange', 'Bunga Anggrek' atau akapela lagu-lagu perjuangan/daerah Indonesa sampai merinding? Segeralah tonton film ini. Beneran.

Untuk masalah kualitas akting pemain, sangat baik. Walaupun daftar pemain di film ini masih cukup asing di telinga kita, namun kualitas akting mereka tidak perlu diragukan lagi, termasuk para pemain dari luar Indonesia. Salah satu akting yang paling menarik di film ini justru si Pak Koster Toegimin yang diperankan oleh Butet Kertaradjasa, dengan banyolan-banyolan menggelitik khas beliau. 

Seandainya kita, seluruh warga Indonesia, bisa menonton film ini; mungkin kita akan malu pada kondisi rakyat sebelum masa kemerdekaan jaman dulu. Tidak memandang suku, agama dan bahasa, semuanya tetap bersatu dibawah bendera yang bernama kasih da persatuan. Sama seperti apa yang Uskup Soegija ajarkan.

Memang sulit untuk hidup dalam sebuah bangsa yang memiliki beraneka ragam bahasa, agama, suku dan budayanya, tetapi kerukunan dapat kita usahakan jika kita SALING MENGHORMATI. - Uskup Soegija


DRIVO JANSEN © 2014