Wednesday, August 18

Kado Bagi Sang Saka

Wednesday, August 18

Suasana hening. Hanya ada dentingan jarum.
Itulah akhir dari antiklimaks adu argumen yang terdengar di ruang tengah. Tak ada suara lagi yang terucap dari bibir siapapun. Arjuna pergi meninggalkan Ibunya serta Aruna saudara semata wayangnya.
Aku hanya bisa mendengar dari tempat tidur semua itu. Terdengar isak tangis dari istriku. Tangisan lirih. Tak ada yang bisa kulakukan untuk mencegah pertikaian yang terjadi.
Suami macam apa aku? Tidak bisa mendiamkan isak tangis wanita yang selalu ada untuk mendiamkan isak ku?
Ayah macam apa aku? Sementara anak sulung dan anak bungsuku bertengkar, aku hanya bertopang diam pada segumpalan kapas bernama kasur.
Aku cuma bisa memegang lututku. Lumpuh tak berdaya.
Pintu kamar terbuka, istriku masuk,
Dengan mata yang masih sembab merah, dia berusaha untuk tampak tak terjadi apa-apa di depanku. Dan itu yang sangat menyakitkan bagiku.
‘Kau sudah bangun ternyata,’ sahutnya sambil berusaha mengusap pipinya.
‘Tolong ceritakan padaku, apa yang sebenarnya terjadi di ruang tengah sana ?’ sahutku langsung tanpa basa-basi.
Dia berbalik badan. Berusaha merapikan tempat tidurku sambil bertanya, ‘Kau sudah makan? Mau kuambilkan?’.
‘Tolong jangan mengalihkan pembicaraan, ceritakan padaku apa yang terjadi di ruang tengah tadi’, sergahku tanpa mempedulikan basa-basinya.
‘Sudahlah, kau lebih baik istirahat. Lagipula mereka itu sudah besar. Paling sebentar lagi akan akur kembali’, jawabnya berusaha menenangkan.
‘Kau pikir aku bisa istirahat dengan tenang? Sementara anak-anakku baru saja membuat suasana tidak tenang? Aku tidak perlu istirahat. Aku perlu tahu apa yang terjadi’.
‘Lutut dan kakiku mungkin tidak berfungsi. Tapi aku masih punya otak dan hati yang masih berjalan sesuai dengan fungsi mereka masing-masing’.
Dia menarik nafas kencang. Istriku ini selalu tak bisa menang apabila ini sudah masuk ke arah perdebatan. Aku memang keras kepala. Tapi aku berterimakasih pada Tuhan, karena mengirimkan dia yang berhati lembut untuk menyeimbangkan aku.
‘Baiklah kalau kau mau tahu. Arjuna dan Aruna awalnya berdebat tentang siapa yagn terhebat diantara mereka. Dan hal itu berakhir ujungnya tentang harta warisan’, ceritanya terpotong.
‘Kurang ajar! Ragaku masih nyata sudah berani-beraninya mereka membahas harta warisan? Apa yang ada di otak bajingan kecil itu? Kematian ku?’
Seketika aliran darah seratus kali lebih cepat mengalir dari tumit menuju kepala. Detak jantung berdegub kencang. Aku tak kuasa. Kupegangi jantungku. Seolah aku ingin mengenggam erat, agar berhenti bergerak.
Bingung dengan apa yang harus dilakukan, istriku mendekap aku.
‘Apa kubilang, dasar kau keras kepala’, sahutnya setengah bergumam.
Seolah jantungku ikut terbuai menikmati dekapan dia, istriku. Detaknya perlahan normal. Segalanya berangsur tenang. Bahkan organ tubuhku pun sudah turut tunduk pada istriku. Si pembawa ketenangan dalam hidupku.
Matahari berganti turun naik menggantikan bulan, Sementara bumi terus berputar pada porosnya.
Hingga suatu hari aku mendengar suara mobil berhenti di garasi kami.
Istriku melihat dari balik tirai jendela.
Pintu mobil terbuka dan tampak dua orang turun bersamaan. Arjuna dan Aruna.
Drama apa lagi kali ini yang akan terjadi? Pikirnya.
‘Apakabar, Bunda?’ sapa Arjuna, yang paling tua. Sementara Aruna langsung mencium kening sang Bunda.
Si Ibu mengerutkan kening. Aneh! Pikirnya.
Tapi di sisi lain dia menikmati pertemuan ini. Dia berkumpul lagi dengan kedua anaknya. Dan yang paling penting, tak tampak ada adu saraf diantara mereka.
‘Ayah dimana?’ tanya Aruna sambil melihat kesekeliling.
‘Kami ada sesuatu untuknya’ lanjut Arjuna sambil mengangkat sebuah buku dan selembar kertas.
Lalu mereka mengikuti Sang Bunda berjalan ke arah kamar. Melewati ruang tamu, tempat dimana amarah dan emosi pernah terluapkan, dulu.
Dan seolah-olah lupa akan memori itu, mereka sesekali memeluk satu-satunya wanita dirumah itu. Pemandangan yang berbeda seratus delapan puluh derajat.
‘Hai, Ayah’ senyum terpancar dari bibir keduanya.
Arjuna mendekat ke tempat tidur dan duduk di samping kaki tak berdaya milikku.. Sementara Aruna duduk di samping Ibu sambil merangkulnya.
‘Untuk apa kalian kesini? Sudah puas membahas kematian ku?’ tanyaku ketus.
Aku masih belum bisa melupakan alasan pertengkaran mereka yang hanya karena harta dan kuasa. Betapa rendahnya.
‘Ayah,maaf atas hal itu. Kami tahu betapa rendahnya kami pada saat itu’, sahut Aruna memotong perkataan ku.
‘Kami punya sesuatu untuk ayah. Coba ayah baca’ sahut Arjuna sambil memberiku sebuah kertas.
Lalu aku mengambil kertas itu, mebuka dan membacanya.


Ayah, Bunda.
Kami tak sengaja menemukan buku ini sesaat setelah kami pulang dari pertengkaran bodoh itu.
Ya, buku ini. Kamus Sansekerta.
Sampai akhirnya kami menemukan nama kami di halaman usang buku kesayangan ayah.
Arjuna (sansekerta: अर्जुन; Arjuna) Dalam bahasa sansekerta kata Arjuna berarti "bersinar terang", "putih" , "bersih". Dilihat dari maknanya, kata Arjuna bisa berarti "jujur di dalam wajah dan pikiran".
Aruna (sansekerta: अरुण ;Arua) adalah kusir Dewa matahari, surya. Namanya dalam bahasa sansekerta memiliki arti "yang bersinar kemerah-merahan". Oleh umat hindu, Aruna dipandang sebagai sinar merah yang bersinar di ufuk timur pada pagi hari.,
Dan pada saat itulah kami merasa nama yang ayah berikan bukan lah sekedar nama. Karena diambil dari Bahasa Sansekerta, hal yang paling ayah gemari.
Arjuna, Putih.
Aruna, Merah.
Seorang Putih berhati bersih, tidak mungkin mengotori hatinya sendiri demi kekuasan omong kosong apalah itu namanya.
Sementara seorang Merah yang pemberani tidak mungkin mengedepankan ego demi harta yang tak beralasan.
Ketika orang mengejar kekuasaan dan harta, ketika itu pula lah mereka menjadi orang paling miskin di dunia ini.
Keserakahan tak berkesudahan yang mendiami hati dan pikiran mereka.
Tak ada ketenangan di jiwa mereka.
Mengesampingkan ego.
Membuang perbedaan.
Dan kami sadar, persatuan lah harta yang paling berharga.
Senjata paling ampuh yang sanggup melindungi kami dari apapun juga.
Karena kalau kami bersatu, siapa lagi yang dapat mengalahkan kami.
Dan ini lah kami.
Merah dan Putih bersatu.
Menomorsatukan persatuan.
Menciptakan kedamaian.
Arjuna dan Aruna.

Dan seketika air mataku jatuh diatas kertas.
Kupandangi mata mereka satu persatu.
Istriku, Arjuna dan Aruna. Mata mereka pun berkaca-kaca.
Tatapan mata tulus dari hati.
Lalu mereka datang menghampiriku satu persatu. Saling berpelukan, kami berempat.
Dan seketika mereka bertiga berbisik di telingaku. ‘Selamat ulang tahun, Ayah!’.
Bahagiaku menetes membasahi pipiku. Apa lagi yang harus kuminta dari pada-Nya? Pikirku.
Semua ini cukup. Damai dan Tenang.
Namaku, Saka. Dan berarti hari ini ulang tahun ku yang ke 65 tahun. Dan seperti arti namaku dalam bahasa sansekerta, aku siap melayang bagai dahan. Menuju kebahagiaan sejati, damai di hati.

Friday, August 13

Perjalanan Rindu

Friday, August 13
masuk melalui retina
tertangkap cahaya,

membawa sekelumit imagi
atas jarak dan waktu
yang terpisah berjuta meter

secepat kilat
berjalan
menuju alur berliku berisi darah
di dalam otak, disebut saraf

membawa kenangan
menimbulkan hasrat
bersatu dalam rasa
mengalir menuju asa

melengkapi setiap celah yang tersisa
mengisi ruang kosong tak bernyawa

terucap lembut,
seperti hendak memagut
walau raga tidak terpaut.

dan perjalanan itu berakhir

di rongga tak bertulang,
bernama bibir

menghasilkan satu kata terucap,
rindu.



Thursday, August 12

Rabu, Merindu Kamu

Thursday, August 12
ada candu
dalam rindu

menyentuh kalbu
di hari rabu

hati ini tak ragu
menelusuri bayang ambigu

akan imaji semu
tentang dirimu

semesta tolong bantu
beri cinta satu

cinta kamu.

Tentang Jatuh Cinta

malam sudah usai.
begitu pun dengan hati ini.
embun pagi tiba
membawa harapan baru.
kau.
senyum mu,
mampu menembus retina terdalam
bahkan saat ia tertutup.

tiap helai rambutmu,
bahkan mampu mengajak angin membelai
menjadikannya terlihat indah.

matamu,
cincin termewah yang melingkar
di wajah yang ayu nan sendu itu

suaramu,
alunan melodi paling harmonis
yang mampu membuai hingga ke relung hati,



kurapatkan jiwa ini
disamping bayangmu.

kugantungkan asa ini
dilangit mimpimu.

kujatuhkan hati ini
tepat di hatimu.

berharap kau menangkapnya
.

alam semesta benar,

gravitasi mu mampu menarikku.

aku. jatuh. cinta.





pagi hari, ketika mata ini terbuka dan bayangamu yang pertama muncul.






Tuesday, August 10

Tuesday, August 10
jatuh cinta itu bahkan ketika menutup mata pun, hanya senyum mu yang tampak.

Tentang Bertelut. Tentang Berserah Pasrah

Bertelut itu bukan ketika dengkul menyentuh tanah, tapi ketika telinga mendengar suara-Nya.
Bertelut itu bukan ketika dengkul menyentuh tanah, tapi ketika mata tertutup dan tertuju hanya kepada-Nya saja.
Bertelut itu bukan ketika dengkul menyentuh tanah, tapi ketika telinga mendengar suara-Nya.
Bertelut itu bukan ketika dengkul menyentuh tanah, tapi ketika menutup pikiran dan membiarkan Dia yang mengisinya.
Karena pada akhirnya, bertelut itu bukan tentang kita meminta. Tapi ketika kita berserah pasrah.


Sunday, August 1

Tentang Cinta. Tentang Kau

Sunday, August 1
Sakit itu bukan ketika raga ini mulai lemas lunglai. Bukan pula ketika mata melihat kunang atau bintang serasa berputar di atas kepala.
Tapi sakit itu ketika aku melihat engkau menyandarkan kepalamu di lengannya. Bukan cuma itu, tapi hatimu, di hatinya.
Sedih itu bukan ketika air mataku terurai. Tapi ketika air matamu jatuh dan ditangkap oleh jemarinya. Serta diusapnya perlahan.
Marahku bukan karena jemarinya menggandeng jemarimu. Tapi karena jemariku terlalu bodoh tak mengejar kekosongan di antara ruang jarimu.
Khawatir itu bukan tentang aku yang mengharapkan ruang kosong di hatimu. Tapi apakah ruang kosong itu terpenuhi oleh hatinya?
Dan senang itu bukan ketika aku sanggup bertahan melihatmu melingkar di peluknya. Tapi ketika kau menikmati setiap pelukan itu. Bersamanya.
Karena cinta yang sebenarnya adalah bukan tentang aku. Tapi tentang kau.

Tentang Cinta. Tentang Kau

Sakit itu bukan ketika raga ini mulai lemas lunglai. Bukan pula ketika mata melihat kunang atau bintang serasa berputar di atas kepala.

Tapi sakit itu ketika aku melihat engkau menyandarkan kepalamu di lengannya. Bukan cuma itu, tapi hatimu, di hatinya.

Sedih itu bukan ketika air mataku terurai. Tapi ketika air matamu jatuh dan ditangkap oleh jemarinya. Serta diusapnya perlahan.

Marahku bukan karena jemarinya menggandeng jemarimu. Tapi karena jemariku terlalu bodoh tak mengejar kekosongan di antara ruang jarimu.

Khawatir itu bukan tentang aku yang mengharapkan ruang kosong di hatimu. Tapi apakah ruang kosong itu terpenuhi oleh hatinya?

Dan senang itu bukan ketika aku sanggup bertahan melihatmu melingkar di peluknya. Tapi ketika kau menikmati setiap pelukan itu. Bersamanya.


Karena cinta yang sebenarnya adalah bukan tentang aku. Tapi tentang kau.
DRIVO JANSEN © 2014