Wednesday, July 28

Wednesday, July 28

Bahagia itu sesimpel aku bisa tertawa lepas. BEBAS!


Monday, July 26

Malaikat Itu Ada, Ia Nyata

Monday, July 26
Ternyata malaikat itu benar adanya.
Aku pernah melihatnya.
Sering.

Senyumnya,
lengkung bibir terindah
yang selalu mendorongku
untuk membahagiakannya.

Jemarinya,
jari terlembut
yang selalu kugenggam dikala aku kecil
sebelum mata ini terlelap.

Matanya,
pancaran tertulus
akan sebuah kejujuran.
tentang harapan dan keadaan.

Lututnya,
dengkul terkuat
yang selalu bertelut menyebut namaku dalam doa.

Daya pikirnya,
otak tercepat
yang mampu menjangkau hari esok
dalam kematangan perhitungan.

Bibirnya,
pisau tertajam
yang mampu menajamkan otakku yang kadang tumpul.

Aku berterimakasih pada Tuhan
karena telah mengirimkan malaikat itu.

Menenangkan tangisanku saat bayi.

Mengajari aku merangkak.

Menyuapi aku, saat aku mulai merasakan matangnya padi untuk yang pertama kali.

Mengantarkan aku memakai seragam putih-merah.

Melihat pertumbuhanku hingga detik ini.

Bahkan berbagi kasur denganku kadang.

Akulah kesayangannya.

Dan dia adalah kesayanganku.

Hanya satu pintaku,
Tuhan berikan kebahagiaan padanya.
Sama seperti kebahagian yang dia berikan padaku.

Aku tak tahu apa yang akan terjadi
kalau sampai harus berpisah,
dengan malaikat penjagaku itu.

Betapa deras tumpahan air mata ini.
Betapa pedih duka ini.
Betapa kelam hidup ini.
Nantinya.

Aku tidak mau.

Tapi aku tidak tahu.

Yang masih bisa kulakukan hanyalah.
Menebarkan benih kebahagiaan serta,
Menyulam senyum di bibir tuanya.

Menikmati setiap detik
kebersamaan kami. Aku dan dia.

Selama darah masih mengalir di nadinya
dan nafas masih singgah di paru-parunya.

Dan oh ya,
Ternyata malaikat itu punya nama.

Dia, Nony Sarah br. Manullang.
dan sering kupanggil dia, Opung.




Saturday, July 24

Saturday, July 24

Agama itu bukan untuk di debat mana yang benar atau bukan, tetapi untuk semudah diyakini.

Thursday, July 22

Menanti Cinta

Thursday, July 22
Engkau seperti
jawaban atas sebuah penantian
ujian atas sebuah kesabaran

Aku seperti
sunyi menanti riang
yang bermain dengan harapan

Dan

Cinta seperti
Aku yang menanti serta berharap akan engkau

i wanna grow old with you :-*

I wanna make you smile whenever you're sad

Carry you around when your arthritis is bad

All I wanna do is grow old with you.

I'll get your medicine when your tummy aches

build you a fire if the furnace breaks

Oh it could be so nice, growin old with you.

I'll miss you, kiss you, give you my coat when you are cold.

Need you, feed you, I'll even let you hold the remote control.

So let me do the dishes in the kitchen sink

Put you to bed when you've had too much to drink.

Oh I could be the man to grow old with you.

I wanna grow old with you.


-Adam Sandler, Grow Old With You

Hening itu ketika hati dan pikiran sepakat untuk diam.
Tak saling sapa.

Tuesday, July 20

Aku (HARUS) Siap

Tuesday, July 20

Malam ini, langit tak seperti biasanya. Gelap sekali. Tak ada bintang, bahkan bulan pun ragu-ragu untuk menampakkan wajahnya.

Dan tak beberapa menit kemudian, rintik hujan mulai turun. Gemericik air mulai terdengar dari luar jendela kamar.

‘Pantas, dia tampak lain malam ini,’ kataku pada langit.

Dan seketika semuanya tiba-tiba berubah jadi terang. Tanganku berusaha menutupi mataku, saking silaunya.

Aku mencoba meraih apapun yang ada di lemari kecil di sebelah tempat tidurku. Tapi hasilnya nihil.

‘Sinar apa ini?’ pikirku dalam hati.

Dan layaknya putaran jarum jam dalam hitungan detik, sinar itu tiba-tiba lenyap. Dan segalanya menjadi jelas kembali.

‘Aneh sekali,’ pikirku lagi.

Tapi tunggu dulu, ada yang berubah. Jendela kamar tiba-tiba terbuka. Dan aku bisa mendengar suar angin. Seolah berbisik, menyuruhku untuk bangun dari tempat tidur.

Ada sesuatu yang bergerak melambai di dekat jendela. Tertiup angin.

Dan akhirnya aku bangkit dari tempat tidur, menuruti bisikan angin. Menuju benda melambai di atas lemari di bawah jendela.

Sehelai kertas.

Ya, benda itu aku tak tahu dari mana ia berasal. Tiba-tiba dia sudah berada di atas lemari di dekat jendela.

‘Atau apakah mungkin cahaya yang membawanya ke sini?’ pikirku.

Bulu romaku seketika bergidik.

Aku berjalan mendekat menuju kertas itu. Pelan-pelan.
Ternyata selembar surat, bertuliskan tinta merah sewarna darah.
Bulan Pertama.

Ibu,
Aku sudah jadi. Panjangku tidak kurang dari beberapa centi meter saja.
Tapi aku punya semua organ. Semuanya lengkap.
Oh iya, Bu! Aku suka suara ibu, walaupun masih terdengar pelan.
Setiap kali aku mendengarnya, Aku melambaikan lengan dan lututku.

Dan satu lagi, suara detak jantung ibu adalah lagu pengantar tidur kesukaanku.
Bulan Kedua.

Ibu,
Hari ini aku dapat pelajaran baru. Aku bisa menghisap jempolku.
Kalau kau bisa melihatku sekarang, kau pasti akan bilang bahwa aku adalah bayi seutuhnya.
Walaupun aku masih belum cukup kuat bertahan di luar rumahku,
Tapi sangat hangat disini, di dalam rahim Ibu.
Bulan Ketiga.

Tahukah kau, Bu?
Aku ternyata seorang anak laki-laki.
Aku harap itu membuat ibu senang.
Karena aku selalu ingin membuat ibu senang.
Aku pasti menangis kalau melihat ibu menangis.
Walaupun Ibu belum bisa melihat dan mendengar aku.

Bulan Keempat.

Ibu,
Rambutku sudah mulai tumbuh.
Walaupun masih pendek, tapi lihatlah dia bertumbuh.
Aku menghabiskan waktu dengan sering berolahraga disini.
Sekarang aku sudah bisa menggerakkan kepala dan jemariku.
Begitupun dengan lengan dan lututku.
Menyenangkan sekali di dalam sini, Bu!

Bulan Kelima.

Ibu pergi ke dokter ya hari ini?
Ibu, dia berbohong sama ibu.
Dia bilang aku bukan bayi.
Aku BAYI Bu, BAYI!
Aku bisa berpikir dan Merasakannya.
DAN IBU, APA ITU ABORSI?

Bulan Keenam.
Ibu, kenapa aku bisa mendengar suara dokter itu lagi?
AKU BENCI DIA!
Sepertinya dia tidak berperi kemanusiaan
Dan ada apa ini?
Ada sesuatu yang mengganggu rumahku.
TOLONG HENTIKAN DIA, BU!
IBU, TOLONGG!

Bulan Ketujuh.

Ibu,
Aku baik-baik sekarang.
Aku sudah bertemu Penciptaku sekarang. Pencipta kita.
Dia sedang memelukku sekarang. Memegang tanganku erat.
Dia juga menceritakan aku tentang aborsi.
Oh iya, Bu! Aku ada sebuah pertanyaan untuk ibu.
Kenapa ibu tidak menginginkan aku?


Tersentak aku terbangun.

Dan seketika tumpahlah air mataku. Ku usap perut yang sudah semakin membesar.

Membaca surat itu seolah-olah bayi itu sedang berbicara kepadaku.

Anak itu. Anak kami.

Aku melihat pigura disamping meja tempat tidur sambil berusaha menghapus linangan air mataku.

Foto pria itu, yang meninggalkan aku.

‘Bajingan,’ teriakku dalam hati.

Kuusap kembali perutku. Berharap janin di perutku merasakan belaian lembut ibunya. Aku.

‘Tidak, Nak! TIDAK AKAN! Ibu sudah siap. Walau harus begini. Sendiri!’ batinku dalam hati.






dikembangkan dari :@fiksimini RT @drivojansen: Aku tdk sempat melihat ayah dan ibuku. Hny bidan itu yang tahu bagaimana wujudku. Oh iya, dan tempat sampah itu pastinya.





*surat dari si bayi adalah memo dari notes dari facebook saya yang sudah di MODIFIKASI

Persahabatan 50 Perak




It is one of the blessings of old friends that you can afford, to be stupid with them.
- Ralph Waldo Emerson

Monday, July 19

Festival Mimpi Indah

Monday, July 19
Hey, apakah ada diantara kalian yang mau ikut Festival Mimpi Indah?
Tidakkah kalian tahu, Tuhan sedang berpesta diatas sana? Aku tidak tahu atas dasar apa?

Tapi nikmati saja.
Tidak kah kalian mendengar gemericik air hujan yang sedang menyanyikan lagu rayuan malam? dengar nadanya, indah bukan?
Atau tidak kah kalian melihat cipratan air hujan? bergaya abstrak, menandakan kebebasan?
Dan aroma apa ini? Tidaak! Wangi tanah ini seperti sedang merayu jiwaku untuk cepat bergegas.
Sssttt, diam! Bunyi gelegar dari petir sudah terdengar. Jangan takut! Itu menandakan dimulainya festival!
Cepat bergegas!
Tanpa ragu ku pakai kain selimut sambil beranjak ke kereta kasur.

Mataku siap terpejam dan jiwaku sedia bergabung di Festival Mimpi Indah!


18 Juli 2010 | 23.05 malam.

Saturday, July 17

Tentang Mencari Damai

Saturday, July 17

damai itu ketika pikiran dan hati dikosongkan dan menyatu dengan jiwa alam semesta.

damai itu ketika mata menengadah ke langit dan bintang membalas sambil tersenyum.

damai itu ketika bibir berhasil mengutarakan apa yang dirasa jiwa. mengalir lembut laksana helaan nafas.

damai itu ibarat berjalan di tengah miliaran bahkan mega triliriun butir pasir, sementara mata menangkap riak air penghapus haus.

damai itu ibarat tenggak bir yang masuk dari celah bibir, berjalan menuju sel saraf menuju otak untuk bertemu rasa stress.

damai itu ketika malam sudah kembali ke peraduan dan aku pulang ke pangkuan sang kasur.

damai itu ketika menutup mata pun, bayangan mu masih terlihat muncul di benakku.

damai itu sesederhana ketika kau tersenyum padaku.

damai itu hening. sepi. tak ada kata. apalagi suara. hanya aku saja. dikelilingi molekul oksigen.

damai itu ketika kata tak mampu lagi berucap, air mata yang mengambil alih. keluar tiba-tiba diikuti oleh jiwa yang iba.

damai itu bukan tentang kau. tapi bagaimana aku memelihara hatiku. membiarkannya tumbuh tanpa harus gaduh hingga menjadi lusuh.

damai itu laksana udara pagi buta. belum tercampur amarah. belum disiksa oleh gerutu. masih segar oleh harapan baru.
aku pun sedang mencari damai. dimana dia bersembunyi? ingin kubawa pulang dan kusimpan di hati.


*sewaktu-waktu definisi akan bertambah, sesuai dengan PENCARIAN!

Sunday, July 11

Cukup. Sepi.

Sunday, July 11

Di dalam keheningan jiwa, aku menemukan kedamaian.

Mengosongkan pikiran, membiarkannya melayang bebas entah kemana.

Hanya bertemankan udara hampa disekitar.

Membiarkannya masuk terhirup pun oleh jiwa yang hampa.

Tak ada suara, hanya diam.

Biarkan detak jaru jam yang berbicara.

Seakan itu irama. Irama ketenangan.

Menutup mata, menuju satu titik.

Titik terang dalam penglihatan.

Menutup telinga, sambil tetap mendengar ubahan suara hati.

Membiarkan bibir tertutup rapat dan hati yang berbicara.

Ketika indera sudah bersatu, biarkan jiwa menuntun langkah.

Menyusuri kehidupan menuju kebahagiaan.

Melewati satu masa, perenungan.

Biarkan otak dan hati saling berdialog.

Sementara tubuh diam bersama sepotong jiwa yang berprolog.

Merasakan nikmatnya keheningan yang berbisik di sebelahku.

Serta ketenangan yang membuai ragaku.

Apalagi yang patut ku minta dari Tuhan?

Betapa aku cinta sepi.





02:54pm, July 10th.

Wednesday, July 7

Bermain Bersama Matahari: Tentang Masalah

Wednesday, July 7
ASTAGA! aku baru sadar, sudah hampir sebulan aku tak bermain dengan matahari.

Lalu ku ikat tali sepatu ku, ku ambil sepedaku. Sepeda yang sama yang kemarin ku pakai juga untuk menemuinya.

Dengan cepat kukayuh sepedaku. Entah energi apa yang tiba-tiba merasuk, tapi sepertinya tangan dan kaki seperti sedang men-singkronisasikan diri.

Aku sampai di puncak bukit, kulihat matahari sudah hampir turun.

Buru-buru aku berlari. Tak kupedulikan sepedaku yang jatuh entah bagaimana.

'Matahariiiiiii.....' teriakku. 'Jangan turun dulu!'.

Dia menoleh. 'Ah, kau rupanya! Kupikir kau sudah lupa padaku'.

Akhirnya aku melihat lagi senyum wajahnya dari dekat. Ya, senyum matahari.

'Tidak mungkin lah aku lupa padamu. TIDAK MUNGKIN!' kataku.

Matahari nampak lega. Dia menahan kembali posisinya agar tidak turun mendekati poros bumi di belahan yang lain. Ternyata dia juga ingin berbicara dengan ku. Mungkin ini namanya rindu.

'Lalu kemana saja kau?' tanyanya.

'Aku disini saja. Tak beranjak kemana-mana!' kataku. 'Oh iya, dan banyak sekali hal yang ingin kuceritakan. BANYAK SEKALI!'.

Matahari mengangguk. 'Mulailah kalau begitu'.

'Tapi sebelumnya aku ingin marah dulu padamu!' kataku sambil melemper batu kerikil kecil ke arahnya.

'Apa-apaan ini? Kenapa kau?' katanya sambil mengelak.

'KENAPA WARNA MU KELAM SEKALI DUA HARI BELAKANGAN INI?' tanyaku murung.

'HAH?' matahari bingung. 'GILA KAU!'.

Sekarang gantian aku yang mengelak, 'MAKSUDMU GILA?'.

'Iya, apa dasarmu mengatakan warnaku kelam dua hari belakangan ini? Jelas-jelas aku melakukan tugasku dengan baik'.

'Aku hampir putus asa dua hari belakangan ini. Hampir gila menunggu keajaiban datang' kataku.

'Berarti itu bukan aku yang kelam. Tapi matahari jiwamu'. sergah nya.

'Maksudmu?' dengan cepat aku membalas.

'Jangan pernah kau putus asa. Hanya orang mati lah yang boleh putus asa. Kau bukan orang mati bukan?' matahari balik bertanya.

Aku menggeleng.

'Lantas kenapa kau putus asa? Cepat menyerah pada masalah?'.

Aku sekarang terdiam. Selalu tak bisa berkata-kata kalau bapak filsuf yang satu ini bicara.

Aku langsung mati kutu.

'Aku hanya kurang sabar pada saat itu' aku balas menjawab.

'Itu dia masalah kalian manusia. Kalian tidak pernah bersabar atas suatu hal. Ingin masalah cepat selesai tanpa berusaha menyelesaikannya. Kalian pikir hidup ini instan? Segala sesuatu indah pada waktunya. Ingat itu!'.

'Lagipula tak mungkin Tuhan mengirimkan masalah diluar kekuatan kalian. TAK MUNGKIN!'.

'Kalaupun Ia memberikan kalian masalah, mungkin karena kalian sudah terlalu jauh berpaling darinya. Dia ingin pandangan kalian kembali pada-Nya. Bukankah itu berarti Dia merindukan kalian sangat?'.

Aku tertunduk. Betapa bodohnya aku saat itu berputus asa.

'Sudah jangan malu. Angkat wajahmu, anak muda! Mana semangatmu?'.

Aku tersenyum kembali.

'Oh iya ada satu hal lagi, mungkin sepertinya aku akan jarang bermain denganmu!' kataku. 'Tapi aku tidak akan melupakanmu. JANJI!' aku buru-buru melanjutkan.

'Ah, kau ini' matahari balas tersenyum.

'Aku ada teman bermain baru' kataku malu-malu.

'Siapa dia?' tanya matahari.

'Bulan?' matahari mulai menebak.

Aku menggeleng.

'Bintang?'.

Aku kembali menggeleng.

'Awan?'.

Aku tetap menggeleng.

'Kuda Nil' jawabku.

Matahari tak bisa menahan tawa. Dia tertawa terbahak.

Akupun ikut tak bisa menahan tawa. Jadilah kami tertawa bersama.

'Hari ini kami mulai bermain bersama. Aku sampai berkeringat tertawa bersama dia. Ada-ada saja tingkahnya yang bikin ku tertwa. Entah logatnya, apalah itu. Yang jelas KAMI TERTAWA, DAN NGAKAK!' kataku mulai menjelaskan.

'Baiklah, selamat bertemu teman bermain baru. TAPI, AWAS KALAU KAU MELUPAKAN AKU!' balas matahari dengan nada mengancam sambil bercanda.

Aku mengangguk. 'AKU TIDAK AKAN MELUPAKAN MU, MATAHARI! TI-DAK A-KAN! '.

'Oh iya, satu hal lagi. Teman baru ku untuk bermain ini sedang berulang tahun. Maukah kau mengucapkan selamat ulang tahun?' tanyaku.

'Baiklah. Selamat ulang tahun kau, Kuda Nil! Yang terbaik dalam hidup jadi bagian mu! Selamat bermain dengan Drivo! Sekali-kali bermain lah dengan aku!' ucap matahari.

Aku dan matahari kembali tertawa bersama.

Dan akhirnya kami pun melakukan hal yang sudah lama tak kami lakukan. Saling ber-hi-five dari jarak jauh.


Monday, July 5

Aku, Tuhan dan Masalah

Monday, July 5

Jadi bertanya, apakah sebenarnya Tuhan dan masalah bersahabat? Dan Tuhan berusaha memperkenalkannya padaku?
Padahal aku sudah berkali-kali bilang Tuhan, betapa aku tak ingin berkenalan dengan masalah. Tapi tetap saja, Tuhan masih memperkenalkannya!
Padahal kalo dipikir, Masalah itu teman bermuka dua.
Mereka bilang dia bermanfaat, tapi lihat siapa yang menusuk dari belakang sekarang?
Hanya ada luka. Jiwa yang berlobang akibat terkikisnya sel-sel di dalam otak akibat memikirkan dia, si Masalah.
Mereka bilang Masalah bisa jadi guru dalam bertindak di kemudian hari.
Bohong! Itu cuma kedok untuk membela diri!
Buat apa kita jauh memikirkan hal-hal berikutnya, sementara keselamatan jiwa kita terancam hari ini? Tak masuk akal.
Tuhan kembali bertanya apakah aku tak mau sedikitpun berteman dengan Masalah? Dengan lantang kujawab: Tidak!
Bukan kah Tuhan sendiri yang bilang, setia pada perkara kecil maka pasti akan setia pada perkara besar?
Maka dari itu aku tidak akan membuka kesempatan kecil untuk berteman dengan Masalah, karena aku pasti akan mendapat porsi yang lebih besar!
Lalu Tuhan bilang lagi, kalau kau tak mau berteman dengan Masalah, lebih baik kau mati saja. Ya, Dia berkata dengan nada mengancam.
Baiklah, dan kali aku kalah. Aku tidak mau mati.
Mungkin belum, karena dunia orang mati lebih menyeramkan. Rasa hilang. Jiwa lenyap. SERAM!
Kuputuskan untuk berkenalan, berjabat tangan dengannya.
Tapi ada syaratnya, aku berbisik dalam hati.
Tak akan kubiarkan dia yang berkuasa atasku. Bukan dia. Ingat itu, BUKAN DIA!
DRIVO JANSEN © 2014