Thursday, February 16

Ayutthaya, A Hidden Gem.

Thursday, February 16
Kalo kemaren udah ke Melaka dan Georgetown, berhubung kali ini trip-nya ke Thailand, makanya emang udah niat banget pengen berkunjung ke Ayutthaya. Nah buat kalian yang mau jalan-jalan ke Thailand, tapi bosen sama pantai di Phuket atau shopping di Bangkok, mungkin jalan-jalan ke Ayutthaya bisa jadi alternatif yang baru buat kalian.

Jadi ceritanya Ayutthaya ini, kota sisa-sisa reruntuhan akibat perang ngelawan Birma (sekarang Myanmar). Tapi justru dominasi reruntuhan kuil-kuil yang membuat kota ini menarik dan dijadikan sebagai heritage site sama UNESCO. I don’t know, but I always have a thing with old town.

Nah, gimana caranya ke Ayutthaya? 

Pastinya ada beberapa opsi, tapi yang paling gampang ya, naik kereta api dari Bangkok, cuma sekitar satu jam perjalanan kok. Naik kereta dari stasiun Hua Lamphong –kalo mau ke stasiun Hua Lamphong, bisa naik LRT langsung turun di stasiun keretanya kok, karena shelter LRT dan stasiun keretanya terintegrasi. Stasiun Kereta Hua Lamphong ini ibaratnya kalo di Jakarta macam Stasiun Kota, jadi semacam central station, ya stasiun kereta yang paling besar lah pokoknya.





Setibanya di Stasiun Kereta Hua Lamphong, langsung beli tiket menuju Ayutthaya. Harga tiketnya sekitar 20 baht untuk kelas kereta ekonomi. Kalo dilihat dari penampakan keretanya sih, mirip sama model kereta di Jakarta untuk tujuan luar kota





Tepat di seberang stasiun kereta Ayutthaya, sudah berjejer beberapa sepeda motor dan sepeda yang siap untuk dirental. Cara paling menyenangkan untuk mengelilingi kota Ayutthaya, melihat sisa-sisa reruntuhan kuil yang tersebar disekitar kota, memang menggunakan kendaraan tersebut. Dan kota ini tidak terlalu besar, sudah cukup lah rasanya seharian untuk keliling dengan sepeda.



Harga rental sepeda sekitar 60 baht sementara sepeda motor sekitar 160 baht, untuk waktu pemakaian selama enam jam. Dan tenang aja, kita gak bakal sendirian kok. Nanti pasti kita akan menemukan banyak travellers lain yang bersepeda atau menggunakan sepeda motor untuk berkeliling kota Ayuthaya.

Kalo lihat dari peta kotanya sendiri, banyak banget kuil yang ada. Berikut beberapa di antaranya.








Ini namanya Wat Mahathat. Kuil yang terkenal sama kepala Budha yang terlilit ranting pohon itu. Sepertinya area reruntuhan kuil ini yang paling luas dan paling terkenal. Kalo mau masuk kesini, ada tiket masuk sebesar 50 baht, but its worth every baht, really.




Ada beberapa juga yang lainnya seperti misalnya Wat Yanesen, Wat Thammikart, Wat Hasadavas dan Wat Na Phra Men. Ada yang letaknya dipinggir jalan, ada juga yang terpencil banget letaknya. Ada yang berbayar macam kuil yang di atas tadi, ada juga yang gratis. Mau tau kuil yang paling susah untuk dikunjungi?



Iya, kuil patung Budha yang lagi tidur, Wat Lokayasutharam namanya. Ini terpencil banget kuilnya. Kalau mau kesini harus ngelewatin semacam kali kecil terus habis itu ada pasar kaget gitu, nyari-nyari jalan buat ke kuil ini.

Overall, terlepas dari reruntuhan kuil-kuilnya, Ayutthaya ini tidak terlalu padat dan ramai. Just another regular laid back town. Cukup menyenangkan untuk berkeliling-keliling naik sepeda di kota, melambaikan tangan sambil melempar senyum ke antar sesama traveler atau ke penduduk setempat. Kota ini pun cukup lengang, gak terlalu banyak kendaraan yang melintasi jalanan, Salut sama pemerintah setempat yang bisa menjaga kota bekas reruntuhan perang, peninggalan sejarah, menjadi tempat tujuan wisata.

Jadi gimana, gak pengen keliling-keliling Ayutthaya?



Wednesday, February 15

Sentosa Boardwalk, Alternatif yang Menyenangkan.

Wednesday, February 15
Siapa yang enggak tau Resort Sentosa World di Singapore. Salah satu tempat yang wajib-musti-kudu dikunjungi kalo lagi jalan-jalan ke Singapore. Rumah dari Universal Studio Singapore, S.E.A Aquarium, Maddame Tussaud, Pantai Siloso dan masih banyak tempat hiburan seru lainnya. Yang rasa-rasanya, seharian full juga gak cukup buat main-main disini. 

Kalau biasanya kita naik skytrain kalau mau kesana, nah sekarang ada yang baru, kita bisa jalan kaki dari VivoCity Mall ke Resort Sentosa World. Gratis lagi!


Tapi tenang aja, kalian pasti mikirnya ngapain panas-panasan jalan kaki kalo bisa adem-ademan naik skytrain ke Resort World Sentosa. Eitts, cobain dulu Sentosa Boardwalk makanya. 

Jadi Sentosa Boardwalk ini semacam alternatif baru -(selain skytrain) yang dibuat untuk mereka yang mau gratis ke Resort Sentosa World dengan berjalan kaki sepanjang 700 m. Gak usah takut kepanasan karena Sentosa Boardwalk ini semi outdoor, ada atap disepanjang jalur pejalan kakinya, dan tanaman-tanaman hijau di sekitarnya. Terus, ada eskalator datar juga, jadi gak usah takut kecapekan jalan kaki. 

Ada café-café atau tempat-tempat duduk juga disekitar situ kalo kalian benar-benar lelah dan pengen duduk-duduk dulu selonjorin kaki. Dengan view yang menghadap harbour front, kebayang kan jalan kaki sambil lihat laut-laut gitu terus anginnya semriwing kayak apaan. Gak berasa, tiba-tiba udah nyampe Resort Sentosa World aja taunya.





Edan sih ya kalo Singapore ini bikin apa-apa pasti niat banget. Kebayang gak jalur pejalan kaki aja bisa sekeren ini. Sengaja dirancang buat menarik para wisatawan buat nyobain dan ini aja udah bisa jadi salahnsatu tempat wisata yang musti-kudu-wajib dikunjungi itu sendiri. 

*kemudian tepuk tangan* 

 Lalu sekarang pertanyaannya gimana caranya kalau mau ke Boarwak Sentosa ini? Nah, kalau biasanya kan kita harus naik ke lantai 3 (tiga) VivoCity Mall dulu, kalau mau naik skytrain ke Resort Sentosa World. 

Nah, kalau Sentosa Boardwalk ini letaknya di lantai ground. Nanti bakal banyak petunjuk arah kok kalo mau ke Sentosa Boardwalk. Tinggal diikutin aja. 

Jadi gimana, masih naik skytrain atau mau nyoba jalan kaki ke Resort Sentosa World?

Tuesday, February 14

Kampung Naga, Sebuah Tempat Belajar.

Tuesday, February 14
Selain terkenal dengan Cokelat, sampai dijuluki Swiss van Java karena hal ini, tau cokelat dengan tulisan-tulisan unik macam “Cokelat Anti Galau” atau “Cokelat Penolak Jomblo” di bungkusnya kan? Nah itu aslinya dari Garut! 

Tapi gue gak akan nulis soal Cokelat di postingan kali ini. Adalagi hal yang lekat dengan Garut dan jauh lebih menarik. Ya, Kampung Naga.


Kampung Naga, terletak di antara Garut dan Tasikmalaya ini masih memegang teguh nilai adat tradisi, serta tidak tersentuh jaman. 

Disini berdiri 113 rumah penduduk yang jumlahnya tidak akan bertambah atau berkurang dari dulu hingga sekarang. 

Keseluruhan rumah disini mirip, mulai dari model hingga bahan bangunannya yang terbuat dari bambu dan beratapkan jerami. Tapi tenang aja, katanya sih rumah ini gak bakal bocor kalau hujan, malah bisa bertahan sampai 40 tahun sampai atap jeraminya benar-benar lapuk dan dibuat lagi atap yang baru. Dan masing-masing rumah hanya mempunyai satu pintu. 

Banyak sekali hal-hal menarik yang diceritakan oleh Kang Entang, pemandu perjalanan selama di Kampung Naga. Bagaimana desa ini bisa tetap mempertahankan tradisi, menjaga nilai-nilai luhur ditengah-tengah kemajuan jaman.


Di Kampung Naga terdapat Sungai Ciwulan, yang membelah desa tersebut. Kalau sekilas dari gambar diatas, sungai tersebut cukup kering, karena masih terlihat bebatuan dan arus sungai yang cukup tenang. 

Tapi kalo hujan tiba, sungai ini berubah dalam sekejap. Arus sungai yang deras serta volume air yang meluap-luap. Nah kalau sudah begini, maka pinggiran sungai ini akan ramai. Ada yang menghalau sampah yang melintasi sungai, ada yang memancing atau bahkan hanya menonton arus sungai yang deras tersebut.


Di Kampung Naga, rumah penduduk dikelompokkan menjadi satu, dengan balai untuk menumbuk padi di tengah-tengahnya. Berbeda dengan letak dengan rumah tetua dan balai desa dan masjid yang berada di tengah desa. 

Yang menarik, tiap rumah tidak memiliki toilet. Jadi, beberapa toilet (tidak banyak) dibuat tersebar di beberapa titik disekitar pemukiman, sehingga masyarakat bergantian jika ingin menggunakan toilet. Ibarat ngekos, ya semacam kamar mandi di luar gitu. 

Ada hal unik di Kampung Naga ini. Semua spot disini ini boleh difoto, kecuali ada satu bangunan yang katanya tempat menyimpan benda leluhur, yang tidak boleh difoto. Bukan cuma bangunan rumahnya, tapi sekitarnya pun tidak diperbolehkan untuk difoto.



Sementara masyarakatnya sendiri bermata pencaharian sebagai petani. Ada juga ibu-ibu yang membuat kerajinan tangan. Dan gue sih gak yakin anak-anak tadi itu tau-tauan soal iPad atau game online yang lagi happening. Listrik saja tidak ada disini. Tapi, semuanya berjalan selaras dan seimbang di Kampung Naga. 

Nah, sekarang gimana caranya kesini? 

Berhubung gue anaknya angkot banget, jadi pergi kesini naik angkot. dari terminal Kampung Rambutan bisa naik bus yang jurusan ke Garut nanti turun pas di Kampung Naga. Perjalanan sekitar 4 jam dengan biaya tiket sekitar Rp. 60.000 tergantung busnya, ekonomi atau AC. 

Sampai di Desa Kampung Naga, kita harus registrasi dulu di koperasi penduduk setempat, setelah itu diperkenalkan dengan pemandu perjalanan. Desa Kampung Naga ini letaknya dilembah. 

Jadi nanti kita akan turun melewati tangga hingga sampai ke bawah. Nah, kalau ada yang tanya perlu dan bisa nginep gak disini. Jawabannya sih enggak perlu nginep. Kalau kita berangkat pagi, sore juga udah bisa pulang. Tapi kalau kita misalnya mau bikin penelitian atau semacam live-in, kita bisa nginep di rumah-rumah penduduk dan berbaur langsung dengan mereka. Ternyata banyak banget peneliti dari dalam atau luar yang datang kesini untuk mempelajari bagaimana kehidupan di desa ini dan bisa bertahan sampai sekarang.


Karena seperti kata Kang Engtang, yang menjadi pemandu perjalanan kami, bahwa yang akan didapati ketika berkunjung kemari bukanlah tontonan (wisata) melainkan tuntunan. Karena sesungguhnya, kesederhanaan adalah kunci. 

Jadi gimana, udah tau kapan ke Desa Kampung Naga?

Monday, February 13

Malaka, The Heritage City.

Monday, February 13
Gak pernah kepikiran sama sekali bakal mampir ke Malaka, karena ya –sama seperti udah dibilangin sebelumnya, kalo gak ada itinerary khusus dalam trip kali ini. 

Sampai akhirnya mata gue menangkap sebuat flight magazine nganggur di depan mata. Ya daripada bengong, akhirnya nyobain buat baca-baca itu majalah. Dan ternyata hi-lite artikelnya tentang Malaka. JENG! JENG! And that’s it, masih belom ada rencana ke Malaka, pada saat itu. 

Terus akhirnya kepikiran, kalo dilihat di peta kan Malaka itu ditengah-tengah Singapore dan Kuala Lumpur, jadi kenapa gak sekalian dilewatin –toh juga gue mau ke Kuala Lumpur dari Singapore via darat. Maka jadilah demikian sodara-sodara.


Udah hampir tengah malam waktu nyampe di Terminal Malaka Sentral. Dan berhubung gak ada rencana kesini sebelumnya, jadi gak kepikiran juga buat booking hostel. Jadi yasudahlah, mari kita kemon tidur dimana, pemirsah? 

*menyodorkan mic ke penonton* 

Ya, betul. Di terminal. HAHAHA! :D 

Untung terminalnya gak kayak terminal pulogadung atau kampung rambutan gitu ya? Jangankan tengah malam, siang-siang bolong aja serem, yasalam! 

Terminal Melaka Sentral ini cukup gede –gede banget malah bisa dibilang. Karena bukan cuma terminal aja, dia juga ter-integrated sama pasar (bukan pasar becek gitu ya, tapinya) dan bazaar (macam mall gitu lah). 

Tapi berhubung udah nyampe tengah malam buta, gak jadi gak bisa keliling-keliling lihat pasar atau mall-nya. Udah seneng pas lihat McDonald’s, kirain buka 24 jam gitu –ya lumayan lah kan ya, bisa ngadem-ngadem numpang nyenderin kepala gitu :D, eh ternyata gak berapa lama kemudian udah beres-beres mau tutup aja dong :(. 

Untung –tuh kan namanya juga orang Endonesa, masih ada aja untungnya, dikasihtauin sama pak satpam kalo ada ruang tunggu di dalam terminalnya. Dan ternyata udah banyak aja dong travelers yang udah pada selonjoran di bangku panjangnya. Untung masih dapat lapak :D Enggak bisa tidur juga sih. 

Akhirnya cuma bolak-balik selonjoran-duduk-terus selonjoran-terus duduk lagi sambil baca-baca buku. Dan banyak banget kejadian aneh bin ajaib disini. Mulai dari ngobrol-ngobrol sama seorang bapak TKI dari Madura. Terus diajakin pulang sama bapak-bapak macam-orang-India-atau-Bangladesh gitu lah perawakannya –yasalam! Dan yang terakhi, diikutin sama orang down-syndrome. :|


Sementara itu, Stadthuys sendiri ialah deretan bangungn berwarna merah yang dulunya dikenal sebagai rumah Gubernur Belanda. Sementara itu disekitar bangunan ini yang disebut juga sebagai Dutch Area, terdapat gereja Christ Church yang usianya sudah lebih dari 250 tahun.


Terus ada juga Melaka River, dengan rumah-rumah penduduk bergaya peninggalan Belanda di sepanjang sisinya. Nah, kalo mau ikutan tur Melaka River Cruise, mengitari sungai sambil menikmatai pemandangan di sekitar, monggo.


Terus ada juga Benteng A Famosa, sebuah benteng peninggalan Portugis. Bangunan ini cukup ini –ya, selain cukup tua juga, karena yang tersisa dari bangunan ini hanya dinding dan pintu masuknya saja. Cuma, berhubung Benteng A Famosa ini letaknya di St.Paul Hill –sebuah undakan bukit, deket banget jaraknya dari gereja Christ Church, jadi cukup mengeluarkan tenaga untuk bisa sampai disana karena harus naik tangga yang *ahem* cukup banyak juga.



Selesai dari sini, sisanya cuma jalan kaki muter-muter ngelewatin St.Francis Xavier Church, Menara Taming Siring, Museum Kelautan yang bentuknya macam bahtera Nuh.



Nah, berhubung pas berangkat kemaren di pesawat kan nemu artikel tentang Malaka dan sempet baca, katanya: kalo lagi di Melaka, harus-banget-kudu-musti-wajib nyobain yang namanya Chicken Rice Ball di Kedai Kopi Chung Wah, di sekitaran Jonker Street. 

*And, yes! Achievement unlocked!*



Ini emang artikelnya gak salah! Enak pake banget, yasalaaaam! Itu nasi yang dibentuk bola-bola gitu –nasinya pulen bener, yasalam! Terus ayamnya polos gitu aja tapi tauk deh dipakein bumbu apa jampe-jampe apaan, rasanya jos-gandos-endang-bambang! Sambelnya juga itu, hadududuh! Pokoknya beneran deh, kalo ke Malaka harus mampir dimari. 

*lap iler* 

Gak nyampe setengah hari di Malaka. Tapi lumayan banyak tempat yang bisa dikunjungi walaupun dengan jalan kaki. Iya, masih ada beberapa tempat lagi sih di Malaka yang belum sempat dikunjungi. But yes, it was short and sweet, indeed!

Georgetown, A Laid Back Town.

Enggak tahu kenapa, selalu ada hal menarik dari sebuah kota tua yang berhasil memikat hati gue. Entahlah, paling gak tahan sama sesuatu yang auranya berumur gitu. 

*brb gandeng tangan Mbak Yuni Shara* 

*halah* 

Ya, Georgetown.

Ibukota dari negara bagian Penang di Malaysia ini sudah menjadi incaran gue untuk dikunjungi setelah menyambangi saudaranya, Melaka, di tahun sebelumnya. 

Acungan jempol untuk pariwisata Malaysia yang bisa banget merawat warisan kota tua dan menjadikannya sebagai tujuan pariwisata. PR buat bapak menteri pariwisata kita yang baru nih, semoga bisa kesampean ya, Pak. 

*Mz, mau bikin tulisan politik apa mau cerita tentang trip kemaren, Mz?* 

*Oh, iya. Maap, Mb!* 

Georgetown itu kota yang menyenangkan sekali. Kotanya tidak terlalu besar. Sehari-dua hari keliling kota juga cukup. Dan yang paling menyenangkan buat gue sih, ini kotanya laid back banget. Enggak terlalu rushing atau crowded macam kota-kota besar pada umumnya. 

Everyday feels like holiday, really.

Lo bisa nemuin ibu-ibu yang masih pake baju rumah ngerumpi-ngerumpi cantik –tanpa maju mundur maju mundur atau bunyi tak-tok-tak-tok ya, di rumah-rumah makan. Atau kakek pagi-pagi udah stand by baca koran sambil santai sarapan disini. 

Gak ada gerombolan orang-orang kantoran yang jalan tegak lurus sambil buru-buru atau mereka-mereka yang sibuk mengejar waktu. Speaking of how laid back is this city.



Dan bukan warisan kota tua namanya kalau gak ada bangunan-banguan yang bisa memanjakan mata. Apalagi buat tower fetish macam gue. Dari bangunan menarik ke menarik lainnya gak memakan waktu yang cukup lama atau jauh. Gue aja kemaren keliling-keliling kotanya jalan kaki. 

Capek? Gapapa, yang penting puas. Bisa ngelihat Masjid Kapitan Keling, Church of Assumption, St.George Church dan yang lainnya.





Sambil keliling-keliling ngelihatin bangunan menarik di Georgetown, jangan lupa hunting murrals (street art) disini. Karena Georgetown identik sekali dengan gambar di dinding bangunan yang lucu atau unik.








Kita bisa nyewa sepeda buat eliling-keliling hunting nyari murals di Georgetown, atau kalau mau ngirit budget bisa sambil jalan kaki kok. Karena kotanya enggak begitu besar, seharian bisalah kalo cuma buat keliling-keliling nyari murals.


Terus kalo laper abis keliling-keliling kota gimana? Tenang! Di Georgetown banyak food stall bertebaran, apalagi kalo udah malam. Kebetulan gue menginap di sekitaran Love Lane, yang notabene kawasan backpacker di Georgetown, dan kalau sudah malam bayak jajanan tenda di sekitar situ. Atau coba main-main ke Kimberley St. juga banyak food stall bertebaran, cobain Curry Mee-nya deh.


Cuma ya itu, harus ditanya dulu halal apa enggaknya. Alhamdulilah, saya hampir makan pork noodle. Saking lapernya, ceritanya main langsung pesen-pesen aja begitu lihat mie. Eh begitu ngelihat kok bentukan dagingnya beda dan pas nanya, WAKWAW! Hahaha :D 

*elus-elus dada* 

Tapi jangan sedih! Ada food stall yang jualan burger yang enak di dekat situ, Manchaster Burger (entahlah, ada ‘United’-nya apa enggak), letaknya di seberang Sevel Love Lane. Dia bukanya kalo malam aja. Gampang kok ngelihatnya, semua dekorasi gerobaknya dipenuhi sama warna merah dan pernak-pernik Manchaster United. Porsi burgernya yang lumayan besar, ada fried potato juga. Enak lah pokoknya kalo buat cemilan malam.



Terus ada satu tempat juga di Lebuh Campbell Lane. Tempatnya memang gak strategis, karena di ujung lorong situ. Bukan macam cafe-cafe hits di kota besar sini modelnya. Tapi di situ gak pernah sepi. Rame terus tempatnya. Cobain teh tarik sama roti bakar selai srikayanya. Ini bakar rotinya masih tradisional banget, masih pake tungku arang besar gitu. Gak usah ditanya kalo soal rasanya mah. Cobain langsung aja. 

Oh iya, ini rahasia di antara kita aja ya. Ada satu tempat yang harus kalian kunjungin kalo lagi main-main ke Georgetown. Ada satu taman terbuka di deket terminal bis Georgetown, ke arah dermaga kapal feri, di sekitar Weld Quay Bus Depot, cobain deh duduk-duduk disitu pas sore-sore menjelang malam. Pemandangan langsung ke laut lepas, sambil ngerasain angin sepoi-sepoi. Duduk-duduk sambil bengong-bengong cantik aja disitu, ngelepasin rutinitas sejenak. 



 Jadi gimana? Yakin gak mau main-main ke Georgetown?


Eyegasm at Putrajaya

Hari terakhir di Kuala Lumpur. Masih pagi, tapi sudah menapakkan kaki di KL Sentral. Selembar tiket Express Rail Link (ERL) seharaga 9.50RM menuju Putrajaya sudah ditangan. 

Ya, hari itu bakalan menyambangi pusat kota administrasi di negerinya Upin-Ipin. Gak nyampe 30 menit, udah nyampe di Stasiun Putrajaya. Lalu dilanjutkan dengan naik Bus NadiPutra sesuai presint (rute) yang diinginkan. Kebetulan memilih untuk naik bus yang turunnya di Dataran Putra, di depan 
Perdana Putra dan Masjid Putra



Di sekitar Dataran Putra ada Tourist Information Centre, sekalian tempat penyewaan sepeda. Sekedar saran sih, kalo mau keliling-keliling Putrajaya mendingan nyewa sepeda aja. Setengah hari muter-muter dijamin cukup buat ngiterin Putrajaya. 

Gak terlalu banyak sih sebenarnya atraksi yang bisa bikin lo harus bilang ‘Wow!’ sambil jungkir balik disini. Cuma yang cukup menarik dari Putrajaya ini ialah kotanya sangat tertata rapih dan bersih. Serta melihat deretan bangunan-bangunan pemerintahan berjejer yang sangat menyenangkan. Sebagai orang yang cukup fetish dengan arsitektur bangunan, mata sangat dimanjakan disini. :D





Ada untungnya juga memang ini pusat administrasi negara dipindahin ke daerah lain gak digabung sama pusat bisnis kayak Putrajaya gini. Jadinya ya gak terlalu padat dan cenderung tertata rapih. 

Pokoknya mah, kalo lagi trip ke Kuala Lumpur, jangan lupa ngibrit sebentar ke Putrajaya!
DRIVO JANSEN © 2014