Sunday, April 17

Cinta yang Berseberangan

Sunday, April 17
Matahari siang ini tampak seperti sedang emosi. Terlihat dari temperaturnya yang sedang naik. Sementara aku mulai melangkahkan kaki keluar dari pintu gerbang sambil sesekali memicingkan mata ke atas. Kecilin sedikit suhunya, PLEASE! batinku dalam hati.

Dan handphone-ku tetiba bergetar. Sebuah pesan singkat masuk.

Aku sudah dijalan. Sampai bertemu nanti.

Entah kenapa bibir ini langsung membentuk lengkungan ke atas. Ya, kebahagiaan itu bisa datang darimana saja. Termasuk pesan yang sangat singkat dari orang tersayang.

Aku sudah sampai di tempat biasa. Cafe es krim dari jaman belanda tak jauh dari Stasiun Kereta Juanda. Dan tanpa ditanya lagi, Mbak Pelayan sudah tahu bahwa aku akan memesan Spaghetti Ice Cream dan Banana Split layaknya beberapa bulan belakangan ini.

Tak sampai sepuluh menit sosok yang ditunggu muncul di hadapanku. "Maaf, macet!" sahutnya sambil cengengesan.

"BASI!" jawabku sambil berpura-pura membuang muka dan cemberut.

"Ih, gitu aja ngambek! Malu kamu sama umur," celotehnya sambil mengunel-unyel rambutku. Aku masih belum memberi reaksi.

"IYA! Aku minta maaf!" lanjutnya. Dan tiba-tiba sebuat kecupan mendarat di keningku.

Aku mulai tertawa cengengesan. "Nah, gitu dong!".

"DASAR, kamu! Alasan aja. Bilang aja minta dicium!" sahutnya sambil mengambil posisi duduk.

Dan hal berikutnya yang kami nikmati adalah es krim dan obrolan absurd penuh tawa.

Jumat siang dan es krim memang sudah menjadi semacam ritual sebelum kami menjalankan ritual yang sesungguhnya. Dan tak terasa matahari sudah tepat berada di atas kepala. Menandakan sebentar lagi waktu akan menunjukkan pukul dua belas.

"Sudah waktunya, ayo pergi!" sahutku sambil menyudahi pembicaraan.

Dan kami pun mengucap kata perpisahan sambil saling membalas lambaian tangan. Mulai melangkahkan kaki ke arah yang berbeda. Berseberangan.

Aku melangkahkan kaki ke sebuah bangunan bergaya gotik tak jauh dari situ. Bangunan berwarna coklat dengan lambang salib di atasnya. Ada ritual kebaktian di jam seperti ini. Persekutuan menghadap kepada Tuhan.

Sementara dia melangkahkan kakinya ke sebuah bangunan bergaya timur tengah dengan kubah megah di atasnya. Dia pun akan menghadap Tuhan-nya dalam ritual Shalat Jumat.

Aku tak ingin lagi berbicara tentang aku dan dia melainkan tentang kami.

Ya, cinta kami satu walau rumah Tuhan kami berseberangan.

Entahlah dimana cinta ini akan berujung. Bahkan semesta pun belum berani menyingkapnya. Yang kami tahu, selama kami masih memuja Tuhan maka selama itu pula kami akan mengagungkan cinta.



1 comment:

Sarah Nainggolan said...

Jadi inget film cin(T)a.

DRIVO JANSEN © 2014